Jumat, 27 April 2012

PENDIDIKAN NASIONAL

Refleksi Sistem Pendidikan Nasional dan Mencerdaskan Kehidupan

Oleh : Prof. Dr. Suyata, P.hD

Ada beberapa catatan tentang sistem pendidikan nasional kita sebagai masukan di dalam upaya perbaikan sistem pendidikan dan kehidupan bangsa menuju bangsa yang cerdas dalam arti yang luas, terpadu, fungsional, dan dinamis. Perubahan signifikan kehidupan bangsa di akhir tahun 1990-an menuntut pandangan, pemikiran, sikap, dan tindakan baru dalam kehidupan sehari-hari, terutama di tingkat keputusan makro yang diambil. Perbaikan kehidupan nyata hanya terjadi manakala aksi di lapangan sejalan dengan pikiran-pikiran yang mendasari usaha perbaikan. Secanggih apa pun suatu pengaturan, sehebat apa pun teori yang mendasari keputusan, dan seketat apapun pengawasan yang dilakukan, penentu keberhasilan, terutama sektor pendidikan, sejatinya berada di ruang-ruang kelas dan setting sekolah yang didukung sistem sosial kulturnya.
            Keyakinan yang dianut di sini paling tidak ada enam. Pertama, semua orang itu baik, pintar, dan mampu berbuat sejalan dengan sifat baik dan pintarnya. Kedua, sistem sosial dan sistem budaya menjadi medan dan kunci keberhasilan usaha. Ketiga, faktor manusia menjadi sentral dalam struktur dan kehidupan sekolah dan universitas, manakala keberhasilan bagi semua menjadi target. Keempat, siapa saja akan berhasil belajar bilamana suasana kebebasan berkembang dan belajar adalah proses membangun roda belajar berangkat silih berganti dari konsep dan atau aksi. Kelima, kunci keberhasilan terletak pada faktor-faktor tak teramati (intangible), oleh sebab itu menekankan perbaikan pada proses restrukturisasi tak lagi memadai. Keenam, guru dan kepala sekolah menjadi amat penting sebagai suatu tim dalam perbaikan pendidikan manakala bekerja dalam sistem yang mendukung baik internal maupun eksternal sebab pendidikan itu proses majemuk, belajar mengajar adalah berwatak sosial, kooperatif, dan kolaboratif.
            Butir-butir berikut diajukan guna melakukan refleksi perjalanan kehidupan bangsa dan pendidikan selama ini. Sistem persekolahan di negeri ini adalah sistem cangkokan, transplantasi yang masih berusaha memperoleh posisi dan peranan yang tepat dalam dinamika sistem kemasyarakatan negeri ini. Upaya menekan sistem kemasyarakatan yang ada akan berdampak negatif, counterproductive, atau bahkan kacau, chaos. Sistem persekolahan di negeri asal pencangkokan didasarkan pada permasalahan, filosofi, keyakinan, nilai-nilai, dan pemikiran tertentu, boleh jadi tak sejalan dengan hal serupa di negeri ini.

Jangan-jangan sistem kita bermasalah
            Dewasa ini sistem pendidikan nasional dengan intinya sistem persekolahan tetap menjadi isu penting berhadapan dengan kritikan, serangan, dan penolakan terhadapnya sebagai suatu sistem yang lemah dan gagal merealisasikan misi dan fungsinya. Lembaga yang dirancang diyakini dan diharapkan mampu mencerdaskan semua warga masyarakat ternyata hanya berdampak terhadap sebagian kecil dari mereka dan itu pun menyusut dalam waktu yang singkat. John Goodlad (1994, 207-208) memberikan pandangannya bahwa sistem persekolahan yang dikembangkan dewasa ini memberikan kriteria yang hanya dapat diakses dan dinikmati oleh sekelompok kecil sekolah, bukan oleh mayoritas sekolah. Sekolah yang dapat menikmati kriteria dan standar yang dikembangkan adalah sekolah yang dapat memilih siswa dengan latar belakang keluarga beruntung, berpendidikan baik. Kriteria sekolah baik dengan rujukan dasar ini berdampak pada terabaikannya siswa-siswa di luar latar belakang tersebut.
            Pengalaman dari sistem pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu yang panjang memberikan indikasi fenomena di atas. Pertanyaannya, mengapa perbaikan pendidikan dan perbaikan kehidupan masyarakat tak kunjung berhasil? Apakah yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita? Apakah berasal dari sistem, undang-undang, kurikulum, guru, dana, siswa, dan atau masyarakat? Adakah kejelasan teori dari berbagai undang-undang sistem pendidikan nasional kita dan produk-produk turunannya, baik itu pengaturan, kebijakan, program-program maupun implementasinya? Menemukan sumber utama permasalahan pendidikan bangsa (the right, the true question, problems) merupakan salah satu kunci pokok mengatasi tiga pertanyaan pokok tersebut.
            Amstrong (2006, 3-5) mengungkapkan dua wacana persekolahan dewasa ini, yakni wacana pengembangan prestasi akademik dan wacana pengembangan manusia. Wacana yang pertama sangat dominan paling tidak di dalam aksinya sistem persekolahan. Orang tua, tokoh masyarakat, dan berbagai pihak jika ditanya apakah yang harus dikembangkan di sekolah, jawab mereka dapat diduga: perkembangan semua dimensi kehidupan anak. Akan tetapi di dalam praktiknya mereka akan memilih mengembangkan hal-hal yang sifatnya akademis, yakni prestasi akademik anak-anak. Ini merupakan suatu yang dilematis. Usaha perbaikan pendidikan lebih dipengaruhi oleh kekuatan politik, sosial, dan ekonomi daripada perkembangan dan perubahan kebutuhan anak-anak. Kita banyak mendengar  dan menyaksikan bagaimana wacana pendidikan selalu mengaitkan dengan ranking pengembangan sumber daya manusia Indonesia di forum dunia, demi segera dikeluarkannya aneka kebijakan yang mengikat tingkat ASEAN, lingkar pasifik, perdagangan bebas dunia, dan hal sejenis. Sedangkan kebutuhan dan perkembangan anak cenderung diabaikan.

Sistem Persekolahan Kita Produk Cangkok mencangkok sepanjang sejarah bangsa
           
            Di negeri asal sitem persekolahan, mereka itu pada dasarnya adalah produk gerakan nasionalisme abad 19 di Eropa dan Amerika. Sistem-sistem persekolahan ini berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat bangsa-bangsa tersebut. Perkembangan lebih lanjut, sekolah dan persekolahan dikritik sebagai sistem yang cenderung memerhatikan fungsi otak yang sebelah kiri dan mengabaikan fungsi otak sebelah kanan, terutama oleh dominasi IQ dan sistem nilai kelompok tengah ke atas. Selain itu, sekolah dikelola dengan asas bahwa belajar itu individual digerakkan secara kompetitif.
            Ini berakibat anak-anak semakin individualistis berlebihan dan tak peduli orang lain dan ujung-ujungnya membahayakan kelangsungan hidup masyarakat. Padahal, belajar itu yang paling dalam adalah individual, tetapi hakikatnya adalah sosial. Clifford Geertz pernah mengungkapkan kajian di Indonesia (Jawa, Bali) bahwa belajar itu adalah sosial dan medannya ada di pasar, di halaman dusun, di aneka keramaian, dan sebagainya. Sekolah dan persekolahan yang mengisolasikan diri oleh ketatnya peraturan telah kehilangan daya dukung edukatif kitarannya. Sekitar tahun 1980-an kesadaran akan lemahnya sekolah dan sistem persekolah mulai dirasakan, dan para ahli sejarah menemukan sisi-sisi lemah itu dan dikembangkan oleh kajian sosiologi, antropologi, filsafat, dan ekonomi/industri baru. Dewasa ini sekolah dan sistem persekolahan memiliki makna baru (direkonstruksi, ditemukan kembali) sehingga menjadi suatu masyarakat belajar dan mengajar yang akrab dan dekat dengan kitarannya.
            Semenjak dasawarsa 1970-an, sistem pendidikan terlampau menangani masalah teknis, praktis, pragmatis, kurang menyentuh hal-hal substantif. Masuknya ideologi, kekuasaan, dan kepentingan diterima begitu saja sekedar menanti saat menggantikan posisi menguasai pengurusan pendidikan bangsa. Dengan demikian, pandangan yang hidup adalah ganti menteri, ganti kebijakan. Sementara itu di tingkat aksi, pengalaman rutin terus menguasai praksis pendidikan apa pun yang terjadi di tingkat pengambilan kebijakan. Mind-sets individual dan kolektif telah mendikte para pelaksana di lapangan ini berpikir, bersikap, dan bertindak. Umumnya keberadaan dan sentralnya mind-sets ini diabaikan.
            Dalam kaitan dengan mind-sets pendidikan bangsa, pergantian pemerintah dan materi nampaknya tak mengubah peta pemikiran dan praktik pendidikan. Oleh sebab itu kegagalan dari waktu ke waktu terus berjalan, apapun usaha untuk mengatasinya telah dilakukan. Keadaan demikian telah dilandasi juga oleh perhatian pendidikan kepada wacana pengembangan akademis yang berlebihan, yang terfokus pada hal-hal teknis, reduktif. Nilai-nilai kurang memperoleh perhatian dan pertimbangan atau bahkan dilupakan.

Mencermati yang hilang dalam sistem persekolahan.

            Para pakar mulai merasakan dan melihat adanya hal-hal yang hilang dari persekolahan dan sekolah bahkan juga dari universitas. Kehilangan itu sering dikaitkan dengan fenomena kehidupan yang semakin bernasalah, seperti timbulnya kelompok anak nakal, kegiatan anti sosial, ketidakpuasan yang meluas tentang banyak hal, dan seterusnya. Kehilangan paling mendasar dalam kehidupan,termasuk struktur sekolah dan universitas, adalah kemanusiaan, kultur, dan masyarakat yang berakibat hilangnya jati diri individu dan kolektif. Birokrasi sekolah da pengaturannya (regulasi) telah mempercepat secara sistematis dan sistemis lunturya jati diri, kebersamaan, akar budaya, dan kemanusiaan. Akibatnya bangsa yang cerdas tak akan tubuh dalam kondisi hilangnya faktor kemanusiaan, sosial, nilai- nilai sebagai basis kebersamaan dan komunikasi menjadi cerdas. Syaratnya pengaturan pendidikan membatasi menemukan solusi beraneka ragam terhadap corak permasalahan kemasyarakatan dan pendidikan yang bersifat majemuk.

Mencerdaskan bangsa sebagai rujukan utama

Keperluan membangun bangsa dan kehidupan bangsa yang cerdas telah disadari, dipikir, dicari, dan dirumuskan menjelang dan  segera setelah kemerdekaan bangsa diumukan. Undang- undang pokok pendidikan (pengajaran) pertama. Boleh jadi undang – undang yang sangat tepat menjawab watak jaman dan permasalahan pokok yang dihadapi yaitu undang- undang nomer 12 tahun 1954 junto undang- undang nomer 4 tahun 1950. Nasionalisasi dan demokratisasi membangun bangsa dan watak bangsa menjadi bangsa yang cerdas sangat pas dengan latar belakang dan arah berbangsa dan bernegara. Sayang semangat berfikir lebih dalam ini tak dilakukan oleh usaha- usaha menjawab tantangan jaman yangg hadir dan akan dihadapi. Perbaikan pendidikan bangsa dikerjakan dengan pemahaman sangat minimal akan masalah bangsa dan pendidikan bangsa. Ibaratnya luasnya luasnya masalah pendidikan itu puluhan hektar, kedalaman pemahaman hanya beberpa milimeter, perbaikan mutu kognitif anak bangsa tak dapat dengan informasi nilai rerata, terendah, dan tertinggi. Semangat mengatur secara garis besar dengan memberikan keleluasaan pengembangan nampaknya suatu ciri yang ditinggalkan pada pengaturan pendidikan paska undang- undang pertama tentang pendidikan. Cobalah lihat hal demikian pada undang – undang sistem pendidikan nasional yang terahir ini sedemikian rinci dan sedemikian regulatif.
            Di awal kemerdekaan sekitar limapuluh tahun silam, perbedaan institusi sekolah untuk membangun bangsa dan watak bangsa telah dilakukan. Sisa- sisa kepentingan kolonial, kedaerahan, kesukuan, keagamaan, kefeodalan, dan kelompok- kelompok lainnya diusahakan dengan nasionalisasi dan demokratisasi pendidikan persekolahan. Institusi persekolahan tetap menjadi pilihan dengan harapan memanfaatkan lewat membangun spirit dan jiwa nasional. Usaha tersebut bisa dibilang sukses, namun ketahanan dampaknya mulai diragukan. Sistem persekolahan suatu institusi pinjaman, cangkokan yang memiliki asumsi- asumsi sendiri dimasyarakat asal persekolahan tersebut. Kedekatan, kecocokan demham institusi asli di berbagai wilayah Indonesia tak pernah dikaji. Kini fenomena yany ditengarai Jonh Dewey mulai terlihat di sampeng itu, perubahan cepat dan besar masyarakat Indonesia sedang berlangsung. Pada saat yang sama hasil bentukan sistem persekolahan ditunjang oleh berbagai kondisi kehidupan masyarakat mulai dapat diraskan dan disaksikan fenomenanya. Sistem persekolahan lama ternyata mengandung benih negatif bagi kehidupan bersama yang bersatu dan dinamis.

Memperluas basis kebijakan dan aksi pendidikan pada fakta, pengetahuan teori   

Dunia pendidikan terlalu dikendalikan oleh ideologi, kekuasaan, dan kepentingan, terutama di tingkat birokrasi. Dampaknya adalah kendornya semangat menjadi pionir perbaikan dan perubahan, terbunuhnya berpikir dan berkreasi individual dan organisasi. Peringatan sisi negatif birokrasi ini telah dilontarkan saat krisis global tahun 70an. Tiga puluh tahun kemudian kita masih sangat menyukai birokrasi seolah-olah tanpa itu bangsa itu akan tenggelam. Pada hal karena birokrasi inilah salah satu sebab bangsa ini nyaris tenggelam dalam aneka permasalahan besar: konflik disemua tingkatan dan kehidupan, korupsi yang tetap meluas, lunturnya semangat pengabdian, maraknya individualisme egoisme berlebihan, rendahnya sense of crisis, kebodohan publik, dan sebagainya.
Hal-hal normatif dalam pendidikan memerlukan dukungan dan rujukan konteks dan kehidupan nyata. Untuk itu kegiatan penelitian dan pengkajian amat diperlukan sebagai salah satu masukan terhadap urusan pendidikan. Kini telah hadir kebutuhan dunia kerja sebagai dunia bekerja berbasis pengetahuan, pekerja adalah pekerja pengetahuan (knowledge workers). Bekerja berbasis tangan (fisik) telah bergeser ke arah bekerja berbasis otak, pikiran, teori.  

Struktural versus kultural

Birokrasi seperti disinggung dia atas cenderung memfokuskan hal-hal yang bersifat rasional, dimensi luar, struktur kehidupan yang segera dapat dijelaskan, dicari solusi teknis, diatu, dan diawasi. Kita dapat memperhatikan nasib undang-undang Sisdiknas nomer 20 tahun 2003, telah empat tahun berjalan tetapi tanda-tanda dampak nyata perbaikan pendidikan di tingkat aksi, apa lagi perbaikan kehidupan masyarakat, dipersoalkan. Pendidikan masih terlalu birokratis dan regulatif berlebihan, dan sarat dengan pengawasan di semua jenjang. Hasilnya boleh jadi kemandekan berpikir dan berbuat mengatasi permasalahan pokok pendidikan dan kehidupan.
Dimensi kultural kurang memperoleh perhatian secara memadai oleh fokus pada hal-hal yang segera dapat diamati. Perhatikan ucapan bahwa pendidikan perlu menyajikan hal-hal yang terukir; hal demikian mengabaikan kemungkinan bahwa aksi pendidikan itu memiliki dampak tertunda dan dampak yang tak dapat diamati oleh instrumen-instrumen yang sifatnya fisikal.
Kini mulai timbul kesadaran luas bahwa pendidikan, terutama persekolahan perlu didukung secara non-partisipan, inklusif dan berprinsip kemitraan luas. Sekolah bukanlah monopoli sumber pengaruh akademik, moral, sosial tanpa dukungan institusi eksternal disangsikan.
Faktor tersembunyi keberhasilan kehidupan, termasuk pendidikan di sekolah, terletak di dalam faktor tersembunyi antara lain keyakinan, nilai-nilai agama, budaya, dan sumber lainnya. Hal ini perlu dikaji dan dipahami peranannya dalam berbagai kegiatan belajar mengajar. Kajian-kajian sosial-kultural dan kaitannya dengan membangun sistem pendidikan yang antisipatif menjadi kebutuhan. Banyak rancangan solusi pendidikan yang seering dikritik terlau menyederhanakan permasalah dengan rancangan solusi yang kering pemikiran oleh fokus teknis. Tidak jarang kisah sukses menjadi acuhan tanpa memahami latar belakang sukses tersebut. Ambisi membangun sekolah-sekolah kelas internasional dapat terjerumus di dalam kekeliruan ini / hal ini yang kita saksikan referensi kisah sukses ini adalah adanya gerakan push-down yaitu menjadikan pendidikan kanak-kanak formal seperti belajar membaca, menulis, berhitung. Penelitian di uasaha ini cenderung menemukan banyak hal negatif. Memang gerakan perbaikan lima tahun pertama kehidupan cukup menjanjikan dalam perbaikan kehidupan masyarakat masyarakat bangsa.

Sekolah: Institusi  lama dengan makna baru?

Sekolah tetap penting dan srategis. Disadari atau pun tidak, mayoritas anak dan kaum muda akan menghabiskan waktu mereka cukup panjang di sekolah, apalagi dengan kebijakan wajib belajar yang terus ditingkatkan. Sampai saat in ipaling tidak mayoritas anak di indonesia akan berada di sekolah lebih dari 9 tahun. Sekolah dapat mengambil paranan signifikan membangun bangsa berwatak dan bangsa yang cerdas dengan dukungan masyarakat, terutama keluarga dan badan serta organisasi kemasyarakatan lainnya. John Dewey diawal abad 20 mencermati perubahan penting masyarakat amerika seperti proses fabrikasi, urbanisasi, dan emansipasi perempuan. Fabrikasi telah menggeser dan memindahkan kegiatan bekerja dan produksi ke pabrik dan ke tempat produksi lainnya. Akibatnya anak-anak muda tak lagi mendapatkan akses pengetahuan, keterampilan, dan aneka belajar lainnya. Berbagai kerajinan rumah tangga tak lagi beroperasi. Kegiatan pertanian di sekitar rumah menghilang. Keluarga bukan kesatuan produksi lagi. Katerampilan-keterampilan dasar tak lagi dimiliki anak-anak. Keadaan demikian tentu membawa dampak terhadap pendidikan.
Sisi lain adalah perpindahan orang dari desa menuju kota tempat pabrik-pabrik berlokasi. Orang dari berbagai tempat dan latar belakang etnis, agam, adat kebiasaan dan bahasa berkumpul di kota. Kota-kota hanyalah agregasi orang-orang yang bersama-sama berdiam diri, mereka tak dapat membangun suatu masyarakat oleh keterbatasan kebersamaan (commoness) dan komunikasi hambatan perbedaan bahasa misa. Agar orang-orang, migran dan immigran, dapat membangun suatu masyarakat baru, pendidikan membangun masyarakat tersebut perlu dirancang dan diusahakan. Dikonteks inilah perlu membangun ulang masyarakat melalui pendidikan. Pendidikan nasional perlu belajar dari fenomena ini.
Gelombang baru emansipasi telah mendorong para perempuan, ibu dan atau istri, mencari pekerjaan di luar rumah, di tempat-tempat kerja. Akibatnya, nasib anak-anak, terutama kelompok usia dini tak lagi memperoleh penjagaan dan pendidikan di rumah. Saat kedua orang tua mereka harus bekerja, mereka akan ditinggalkan di rumah, suatu keadaan yang penuh resiko, terutama anak usia muda, dibawah tiga atau juga lima tahun. Jalan keluar hanyalah ketersediaan pendidikan di luar lingkungan keluarga, sekolah dan sejenisnya. Rekontruksi pendidikan dengan membangun kembali konsep sekolah dan persekolahan menjadi suatu keharusan.
Kehadiran ruang maya, cyber space, terutama internet perlu disikapi secara arif, tak usah takut, melalui pemikiran matang membangun teori pendidikan. Keyakinan, teori, dan terapan teknisnya perlu dicari, dikaji, dan dievaluasi. Mengambil oper praktik berhasil belumlah jaminan sukse perbaikan pendidikan bangsa. Isu persaingan, sekolah kelas internasional, pengajaran dengan medium bahasa asing, pendidikan kejuruanmayoritas menggantikan pendidikan akademik perlu dikaji, belajar dari sejarah tahun awal abad 20 dan dari dunia internasional tahun 70an akan menjadikan kita cerdas. Ian Winchestern (1990) memberikan gambaran bagaimana standar pendidikan literasi abad 19 telah digunakan dia abad 20 yang berakibat banyak masalah, terutama hilangnya kemanusiaan dalam strukutur sekolah dan universitas. Sinyalemem dehumanisasi dan materialisme semakin jelas dan berdampak luas dalam kehidupan. Pendidikan perlu membangun kultur, masyarakat dan kemanusiaan.

Pendidikan kompetetif, perlukah?

            Visi Depdiknas: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif 2005 perlu dicermati sebagai budaya membangun kehidupan bangsa yang cerdas. Populernya usaha membangun sekolah- sekolah dan universitas bertaraf internasional sebagai strategi mencerdaskan kehidupan bangsa perlu juga dicermati. Di tahun 80an kebijakan wawasan keungggulan dengan membangun sekolah – sekolah dan kelas – kelas unggulan memiliki nada  serupa. Dewasa ini sedang diusahakan mengubah proporsi SMA dan SMK secara dramatis perlu belajar dari pengalaman dekade awal abad 20 ketika Belanda di dalam praktik menyangsikan dampak perluasan pendidikan rakyat bagi kemajuan Indonesia. Usaha memajukan masyarakat dalam arti sosial, ekonomi, politik perlu dikaji. Kasus negara – negara skandinavia, terutama swedia yang pendidikannya telah tinggi di abad 17an ternyata tak mampu menggerakan industrialisasi. Hal serupa di negara – negara barat lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembangunan pendidikan untuk  mencerdaskan kehidupan bangsa perlu pemikiran dan pengkajian mendalam, terutama membangun teori pendidikan yang tepat menjawab tantangan jaman. Sekitar sepuluh tahun yang lalu comparative education society in europe menggelar  konferensi dengan tema State-Market-Civil Society memberikan gambaran bagaimana bangsa ini memadukan tiga hal penting: membangun bangsa, membangun masyarakat madani dan menghadapi pasar global, suatu konsepyualisasi yang tak cukup dengan spekulasi, kekuasaan, ideologi, dan kepentingan. Ada kesan bahwa dalam era desentralisasi ini, mind-sets nasional, sentral masih dominan di daerah dan dampak terhadap pendidikan tak jauh berbeda, kalau tak lebih buruk,dari mental yang sama saat di pusat.

Penutup
            Masalah pendidikan,persekolahan, dan kemasyarakatan saling bertaut, tali temali sangat kompleks. Pemahaman secara simultan dan mendasar terhadap mereka sangat penting. Tidak jarang kita secara sepihak melihat persoalan pendidikan, persoalan persekolahan, dan persoalan kemasyarakatan yang berdampak naifnya menyelesaikan masing-masing kelompok permasalahan tersebut. Banyak permasalahan pendidikan bermula dari permasalahan kemasyarakatan, dan begitu juga sebaliknya. Aneka kehilangan di sekolah seperti disinggung dimuka akarnya ada di masyarakat dan kembali memantapkan permasalahannya di masyarakat.
            Bangsa ini melalui kantor presiden, gubernur,bupati,rektor dapat menyusun agenda kajian secara sungguh-sungguh terhadappermasalahan pendidikan bangsa dengan itu pemahaman dangkal terhadap oersoalan pendidikan dalam konteks keluasannya dapat diperoleh. Pemahaman terhadap permasalahan pendidikan dan mata rantai keterkaitannya hendaklah tak dilakukan dengan ibarat orang berenang, tahu hanya di permukaan, melainkan dengan menyelam, tahu dan faham. Presiden, gubernur,bupati, rektor dapat memobilisir kitarannya guna memahami dan menyikapi isu-isu dan masalah-masalah yang berkembang dikaitkan dengan arti dan peranan pendidikan bangsa, terutama sekolah dan universitas, bagi kemajuan bangsa di semua bidang.
            Gagasan dan kebijakan pendidikan selalu bersifat hipotesis atau prediktif, terutama tanpa kajian empirik yang memadai. Memang pendidikan tak cukup didasarkan pada hasil kajian keilmuan, melainkan juga dengan aneka ideologi dan keyakinan. Keduanya perlu dipadukan.

Referensi

Amstrong ,Thomas,.(2006).The best school : How human development resarch should infom educational practice. Alexandria, VA: ASCD.

Boyett, Joseph & Boyett, . Jimmie. (1998). The guru guide: The best ideas of the top management thinkers ..pp.81-128 New York: John Wiley & Sons, Inc

Culbert, Samuel A. (1996). Mind-sets management: The heard of leadership. New York, Oxford: Oxford University Press.

Glasser, William M.D. (1993). The quality school teacher: specific suggestion for teacher...New York: Harper Perennial.

Goodlad, John J. (1994). Educational renewal: Better teachers, better schools. San Fancisco:Jessey-Bass Publishers

Winchester, Ian (1990). “ The standard picture of literacy and its critics”. Comparative Education Review:34, 1:21-40