Refleksi Sistem Pendidikan Nasional dan
Mencerdaskan Kehidupan
Oleh : Prof. Dr. Suyata, P.hD
Ada beberapa catatan tentang sistem
pendidikan nasional kita sebagai masukan di dalam upaya perbaikan sistem
pendidikan dan kehidupan bangsa menuju bangsa yang cerdas dalam arti yang luas,
terpadu, fungsional, dan dinamis. Perubahan signifikan kehidupan bangsa di
akhir tahun 1990-an menuntut pandangan, pemikiran, sikap, dan tindakan baru
dalam kehidupan sehari-hari, terutama di tingkat keputusan makro yang diambil.
Perbaikan kehidupan nyata hanya terjadi manakala aksi di lapangan sejalan dengan
pikiran-pikiran yang mendasari usaha perbaikan. Secanggih apa pun suatu
pengaturan, sehebat apa pun teori yang mendasari keputusan, dan seketat apapun
pengawasan yang dilakukan, penentu keberhasilan, terutama sektor pendidikan, sejatinya
berada di ruang-ruang kelas dan setting sekolah yang didukung sistem
sosial kulturnya.
Keyakinan
yang dianut di sini paling tidak ada enam. Pertama, semua orang itu baik,
pintar, dan mampu berbuat sejalan dengan sifat baik dan pintarnya. Kedua,
sistem sosial dan sistem budaya menjadi medan dan kunci keberhasilan usaha.
Ketiga, faktor manusia menjadi sentral dalam struktur dan kehidupan sekolah dan
universitas, manakala keberhasilan bagi semua menjadi target. Keempat, siapa
saja akan berhasil belajar bilamana suasana kebebasan berkembang dan belajar
adalah proses membangun roda belajar berangkat silih berganti dari konsep dan
atau aksi. Kelima, kunci keberhasilan terletak pada faktor-faktor tak teramati (intangible),
oleh sebab itu menekankan perbaikan pada proses restrukturisasi tak lagi
memadai. Keenam, guru dan kepala sekolah menjadi amat penting sebagai suatu tim
dalam perbaikan pendidikan manakala bekerja dalam sistem yang mendukung baik
internal maupun eksternal sebab pendidikan itu proses majemuk, belajar mengajar
adalah berwatak sosial, kooperatif, dan kolaboratif.
Butir-butir
berikut diajukan guna melakukan refleksi perjalanan kehidupan bangsa dan
pendidikan selama ini. Sistem persekolahan di negeri ini adalah sistem
cangkokan, transplantasi yang masih berusaha memperoleh posisi dan peranan yang
tepat dalam dinamika sistem kemasyarakatan negeri ini. Upaya menekan sistem
kemasyarakatan yang ada akan berdampak negatif, counterproductive, atau
bahkan kacau, chaos. Sistem persekolahan di negeri asal pencangkokan
didasarkan pada permasalahan, filosofi, keyakinan, nilai-nilai, dan pemikiran
tertentu, boleh jadi tak sejalan dengan hal serupa di negeri ini.
Jangan-jangan sistem kita bermasalah
Dewasa
ini sistem pendidikan nasional dengan intinya sistem persekolahan tetap menjadi
isu penting berhadapan dengan kritikan, serangan, dan penolakan terhadapnya
sebagai suatu sistem yang lemah dan gagal merealisasikan misi dan fungsinya.
Lembaga yang dirancang diyakini dan diharapkan mampu mencerdaskan semua warga
masyarakat ternyata hanya berdampak terhadap sebagian kecil dari mereka dan itu
pun menyusut dalam waktu yang singkat. John Goodlad (1994, 207-208) memberikan
pandangannya bahwa sistem persekolahan yang dikembangkan dewasa ini memberikan
kriteria yang hanya dapat diakses dan dinikmati oleh sekelompok kecil sekolah,
bukan oleh mayoritas sekolah. Sekolah yang dapat menikmati kriteria dan standar
yang dikembangkan adalah sekolah yang dapat memilih siswa dengan latar belakang
keluarga beruntung, berpendidikan baik. Kriteria sekolah baik dengan rujukan dasar
ini berdampak pada terabaikannya siswa-siswa di luar latar belakang tersebut.
Pengalaman
dari sistem pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu yang panjang
memberikan indikasi fenomena di atas. Pertanyaannya, mengapa perbaikan
pendidikan dan perbaikan kehidupan masyarakat tak kunjung berhasil? Apakah yang
salah dengan sistem pendidikan nasional kita? Apakah berasal dari sistem,
undang-undang, kurikulum, guru, dana, siswa, dan atau masyarakat? Adakah
kejelasan teori dari berbagai undang-undang sistem pendidikan nasional kita dan
produk-produk turunannya, baik itu pengaturan, kebijakan, program-program maupun
implementasinya? Menemukan sumber utama permasalahan pendidikan bangsa (the
right, the true question, problems) merupakan salah satu kunci pokok
mengatasi tiga pertanyaan pokok tersebut.
Amstrong
(2006, 3-5) mengungkapkan dua wacana persekolahan dewasa ini, yakni wacana
pengembangan prestasi akademik dan wacana pengembangan manusia. Wacana yang
pertama sangat dominan paling tidak di dalam aksinya sistem persekolahan. Orang
tua, tokoh masyarakat, dan berbagai pihak jika ditanya apakah yang harus
dikembangkan di sekolah, jawab mereka dapat diduga: perkembangan semua dimensi
kehidupan anak. Akan tetapi di dalam praktiknya mereka akan memilih
mengembangkan hal-hal yang sifatnya akademis, yakni prestasi akademik
anak-anak. Ini merupakan suatu yang dilematis. Usaha perbaikan pendidikan lebih
dipengaruhi oleh kekuatan politik, sosial, dan ekonomi daripada perkembangan
dan perubahan kebutuhan anak-anak. Kita banyak mendengar dan menyaksikan bagaimana wacana pendidikan
selalu mengaitkan dengan ranking pengembangan sumber daya manusia Indonesia di
forum dunia, demi segera dikeluarkannya aneka kebijakan yang mengikat tingkat
ASEAN, lingkar pasifik, perdagangan bebas dunia, dan hal sejenis. Sedangkan
kebutuhan dan perkembangan anak cenderung diabaikan.
Sistem Persekolahan Kita Produk Cangkok mencangkok
sepanjang sejarah bangsa
Di
negeri asal sitem persekolahan, mereka itu pada dasarnya adalah produk gerakan
nasionalisme abad 19 di Eropa dan Amerika. Sistem-sistem persekolahan ini
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat bangsa-bangsa tersebut.
Perkembangan lebih lanjut, sekolah dan persekolahan dikritik sebagai sistem
yang cenderung memerhatikan fungsi otak yang sebelah kiri dan mengabaikan
fungsi otak sebelah kanan, terutama oleh dominasi IQ dan sistem nilai kelompok
tengah ke atas. Selain itu, sekolah dikelola dengan asas bahwa belajar itu
individual digerakkan secara kompetitif.
Ini
berakibat anak-anak semakin individualistis berlebihan dan tak peduli orang
lain dan ujung-ujungnya membahayakan kelangsungan hidup masyarakat. Padahal,
belajar itu yang paling dalam adalah individual, tetapi hakikatnya adalah
sosial. Clifford Geertz pernah mengungkapkan kajian di Indonesia (Jawa, Bali)
bahwa belajar itu adalah sosial dan medannya ada di pasar, di halaman dusun, di
aneka keramaian, dan sebagainya. Sekolah dan persekolahan yang mengisolasikan
diri oleh ketatnya peraturan telah kehilangan daya dukung edukatif kitarannya.
Sekitar tahun 1980-an kesadaran akan lemahnya sekolah dan sistem persekolah
mulai dirasakan, dan para ahli sejarah menemukan sisi-sisi lemah itu dan
dikembangkan oleh kajian sosiologi, antropologi, filsafat, dan ekonomi/industri
baru. Dewasa ini sekolah dan sistem persekolahan memiliki makna baru (direkonstruksi,
ditemukan kembali) sehingga menjadi suatu masyarakat belajar dan mengajar yang
akrab dan dekat dengan kitarannya.
Semenjak
dasawarsa 1970-an, sistem pendidikan terlampau menangani masalah teknis, praktis,
pragmatis, kurang menyentuh hal-hal substantif. Masuknya ideologi, kekuasaan,
dan kepentingan diterima begitu saja sekedar menanti saat menggantikan posisi
menguasai pengurusan pendidikan bangsa. Dengan demikian, pandangan yang hidup
adalah ganti menteri, ganti kebijakan. Sementara itu di tingkat aksi,
pengalaman rutin terus menguasai praksis pendidikan apa pun yang terjadi di
tingkat pengambilan kebijakan. Mind-sets individual dan kolektif telah mendikte
para pelaksana di lapangan ini berpikir, bersikap, dan bertindak. Umumnya
keberadaan dan sentralnya mind-sets ini diabaikan.
Dalam
kaitan dengan mind-sets pendidikan bangsa, pergantian pemerintah dan materi
nampaknya tak mengubah peta pemikiran dan praktik pendidikan. Oleh sebab itu
kegagalan dari waktu ke waktu terus berjalan, apapun usaha untuk mengatasinya
telah dilakukan. Keadaan demikian telah dilandasi juga oleh perhatian
pendidikan kepada wacana pengembangan akademis yang berlebihan, yang terfokus
pada hal-hal teknis, reduktif. Nilai-nilai kurang memperoleh perhatian dan
pertimbangan atau bahkan dilupakan.
Mencermati yang hilang dalam sistem persekolahan.
Para
pakar mulai merasakan dan melihat adanya hal-hal yang hilang dari persekolahan
dan sekolah bahkan juga dari universitas. Kehilangan itu sering dikaitkan
dengan fenomena kehidupan yang semakin bernasalah, seperti timbulnya kelompok
anak nakal, kegiatan anti sosial, ketidakpuasan yang meluas tentang banyak hal,
dan seterusnya. Kehilangan paling mendasar dalam kehidupan,termasuk struktur
sekolah dan universitas, adalah kemanusiaan, kultur, dan masyarakat yang
berakibat hilangnya jati diri individu dan kolektif. Birokrasi sekolah da
pengaturannya (regulasi) telah mempercepat secara sistematis dan sistemis
lunturya jati diri, kebersamaan, akar budaya, dan kemanusiaan. Akibatnya bangsa
yang cerdas tak akan tubuh dalam kondisi hilangnya faktor kemanusiaan, sosial,
nilai- nilai sebagai basis kebersamaan dan komunikasi menjadi cerdas. Syaratnya
pengaturan pendidikan membatasi menemukan solusi beraneka ragam terhadap corak
permasalahan kemasyarakatan dan pendidikan yang bersifat majemuk.
Mencerdaskan bangsa sebagai rujukan utama
Keperluan membangun bangsa dan kehidupan bangsa
yang cerdas telah disadari, dipikir, dicari, dan dirumuskan menjelang dan segera setelah kemerdekaan bangsa diumukan.
Undang- undang pokok pendidikan (pengajaran) pertama. Boleh jadi undang –
undang yang sangat tepat menjawab watak jaman dan permasalahan pokok yang
dihadapi yaitu undang- undang nomer 12 tahun 1954 junto undang- undang nomer 4
tahun 1950. Nasionalisasi dan demokratisasi membangun bangsa dan watak bangsa menjadi
bangsa yang cerdas sangat pas dengan latar belakang dan arah berbangsa dan
bernegara. Sayang semangat berfikir lebih dalam ini tak dilakukan oleh usaha-
usaha menjawab tantangan jaman yangg hadir dan akan dihadapi. Perbaikan
pendidikan bangsa dikerjakan dengan pemahaman sangat minimal akan masalah
bangsa dan pendidikan bangsa. Ibaratnya luasnya luasnya masalah pendidikan itu
puluhan hektar, kedalaman pemahaman hanya beberpa milimeter, perbaikan mutu
kognitif anak bangsa tak dapat dengan informasi nilai rerata, terendah, dan
tertinggi. Semangat mengatur secara garis besar dengan memberikan keleluasaan
pengembangan nampaknya suatu ciri yang ditinggalkan pada pengaturan pendidikan
paska undang- undang pertama tentang pendidikan. Cobalah lihat hal demikian
pada undang – undang sistem pendidikan nasional yang terahir ini sedemikian
rinci dan sedemikian regulatif.
Di awal kemerdekaan sekitar limapuluh
tahun silam, perbedaan institusi sekolah untuk membangun bangsa dan watak
bangsa telah dilakukan. Sisa- sisa kepentingan kolonial, kedaerahan, kesukuan,
keagamaan, kefeodalan, dan kelompok- kelompok lainnya diusahakan dengan
nasionalisasi dan demokratisasi pendidikan persekolahan. Institusi persekolahan
tetap menjadi pilihan dengan harapan memanfaatkan lewat membangun spirit dan
jiwa nasional. Usaha tersebut bisa dibilang sukses, namun ketahanan dampaknya mulai
diragukan. Sistem persekolahan suatu institusi pinjaman, cangkokan yang
memiliki asumsi- asumsi sendiri dimasyarakat asal persekolahan tersebut.
Kedekatan, kecocokan demham institusi asli di berbagai wilayah Indonesia tak
pernah dikaji. Kini fenomena yany ditengarai Jonh Dewey mulai terlihat di
sampeng itu, perubahan cepat dan besar masyarakat Indonesia sedang berlangsung.
Pada saat yang sama hasil bentukan sistem persekolahan ditunjang oleh berbagai
kondisi kehidupan masyarakat mulai dapat diraskan dan disaksikan fenomenanya.
Sistem persekolahan lama ternyata mengandung benih negatif bagi kehidupan
bersama yang bersatu dan dinamis.
Memperluas basis kebijakan dan aksi pendidikan
pada fakta, pengetahuan teori
Dunia pendidikan terlalu dikendalikan
oleh ideologi, kekuasaan, dan kepentingan, terutama di tingkat birokrasi.
Dampaknya adalah kendornya semangat menjadi pionir perbaikan dan perubahan,
terbunuhnya berpikir dan berkreasi individual dan organisasi. Peringatan sisi
negatif birokrasi ini telah dilontarkan saat krisis global tahun 70an. Tiga
puluh tahun kemudian kita masih sangat menyukai birokrasi seolah-olah tanpa itu
bangsa itu akan tenggelam. Pada hal karena birokrasi inilah salah satu sebab
bangsa ini nyaris tenggelam dalam aneka permasalahan besar: konflik disemua
tingkatan dan kehidupan, korupsi yang tetap meluas, lunturnya semangat
pengabdian, maraknya individualisme egoisme berlebihan, rendahnya sense of
crisis, kebodohan publik, dan sebagainya.
Hal-hal normatif dalam pendidikan
memerlukan dukungan dan rujukan konteks dan kehidupan nyata. Untuk itu kegiatan
penelitian dan pengkajian amat diperlukan sebagai salah satu masukan terhadap
urusan pendidikan. Kini telah hadir kebutuhan dunia kerja sebagai dunia bekerja
berbasis pengetahuan, pekerja adalah pekerja pengetahuan (knowledge workers).
Bekerja berbasis tangan (fisik) telah bergeser ke arah bekerja berbasis otak,
pikiran, teori.
Struktural versus kultural
Birokrasi seperti disinggung dia atas
cenderung memfokuskan hal-hal yang bersifat rasional, dimensi luar, struktur
kehidupan yang segera dapat dijelaskan, dicari solusi teknis, diatu, dan
diawasi. Kita dapat memperhatikan nasib undang-undang Sisdiknas nomer 20 tahun
2003, telah empat tahun berjalan tetapi tanda-tanda dampak nyata perbaikan
pendidikan di tingkat aksi, apa lagi perbaikan kehidupan masyarakat,
dipersoalkan. Pendidikan masih terlalu birokratis dan regulatif berlebihan, dan
sarat dengan pengawasan di semua jenjang. Hasilnya boleh jadi kemandekan
berpikir dan berbuat mengatasi permasalahan pokok pendidikan dan kehidupan.
Dimensi kultural kurang memperoleh
perhatian secara memadai oleh fokus pada hal-hal yang segera dapat diamati.
Perhatikan ucapan bahwa pendidikan perlu menyajikan hal-hal yang terukir; hal
demikian mengabaikan kemungkinan bahwa aksi pendidikan itu memiliki dampak
tertunda dan dampak yang tak dapat diamati oleh instrumen-instrumen yang
sifatnya fisikal.
Kini mulai timbul kesadaran luas bahwa
pendidikan, terutama persekolahan perlu didukung secara non-partisipan,
inklusif dan berprinsip kemitraan luas. Sekolah bukanlah monopoli sumber pengaruh
akademik, moral, sosial tanpa dukungan institusi eksternal disangsikan.
Faktor tersembunyi keberhasilan
kehidupan, termasuk pendidikan di sekolah, terletak di dalam faktor tersembunyi
antara lain keyakinan, nilai-nilai agama, budaya, dan sumber lainnya. Hal ini
perlu dikaji dan dipahami peranannya dalam berbagai kegiatan belajar mengajar.
Kajian-kajian sosial-kultural dan kaitannya dengan membangun sistem pendidikan
yang antisipatif menjadi kebutuhan. Banyak rancangan solusi pendidikan yang
seering dikritik terlau menyederhanakan permasalah dengan rancangan solusi yang
kering pemikiran oleh fokus teknis. Tidak jarang kisah sukses menjadi acuhan
tanpa memahami latar belakang sukses tersebut. Ambisi membangun sekolah-sekolah
kelas internasional dapat terjerumus di dalam kekeliruan ini / hal ini yang
kita saksikan referensi kisah sukses ini adalah adanya gerakan push-down yaitu
menjadikan pendidikan kanak-kanak formal seperti belajar membaca, menulis,
berhitung. Penelitian di uasaha ini cenderung menemukan banyak hal negatif.
Memang gerakan perbaikan lima tahun pertama kehidupan cukup menjanjikan dalam perbaikan
kehidupan masyarakat masyarakat bangsa.
Sekolah: Institusi lama dengan makna baru?
Sekolah tetap penting dan srategis.
Disadari atau pun tidak, mayoritas anak dan kaum muda akan menghabiskan waktu
mereka cukup panjang di sekolah, apalagi dengan kebijakan wajib belajar yang
terus ditingkatkan. Sampai saat in ipaling tidak mayoritas anak di indonesia
akan berada di sekolah lebih dari 9 tahun. Sekolah dapat mengambil paranan
signifikan membangun bangsa berwatak dan bangsa yang cerdas dengan dukungan
masyarakat, terutama keluarga dan badan serta organisasi kemasyarakatan
lainnya. John Dewey diawal abad 20 mencermati perubahan penting masyarakat
amerika seperti proses fabrikasi, urbanisasi, dan emansipasi perempuan.
Fabrikasi telah menggeser dan memindahkan kegiatan bekerja dan produksi ke
pabrik dan ke tempat produksi lainnya. Akibatnya anak-anak muda tak lagi
mendapatkan akses pengetahuan, keterampilan, dan aneka belajar lainnya.
Berbagai kerajinan rumah tangga tak lagi beroperasi. Kegiatan pertanian di
sekitar rumah menghilang. Keluarga bukan kesatuan produksi lagi.
Katerampilan-keterampilan dasar tak lagi dimiliki anak-anak. Keadaan demikian
tentu membawa dampak terhadap pendidikan.
Sisi lain adalah perpindahan orang
dari desa menuju kota tempat pabrik-pabrik berlokasi. Orang dari berbagai
tempat dan latar belakang etnis, agam, adat kebiasaan dan bahasa berkumpul di
kota. Kota-kota hanyalah agregasi orang-orang yang bersama-sama berdiam diri,
mereka tak dapat membangun suatu masyarakat oleh keterbatasan kebersamaan (commoness)
dan komunikasi hambatan perbedaan bahasa misa. Agar orang-orang, migran dan
immigran, dapat membangun suatu masyarakat baru, pendidikan membangun
masyarakat tersebut perlu dirancang dan diusahakan. Dikonteks inilah perlu
membangun ulang masyarakat melalui pendidikan. Pendidikan nasional perlu
belajar dari fenomena ini.
Gelombang baru emansipasi telah
mendorong para perempuan, ibu dan atau istri, mencari pekerjaan di luar rumah,
di tempat-tempat kerja. Akibatnya, nasib anak-anak, terutama kelompok usia dini
tak lagi memperoleh penjagaan dan pendidikan di rumah. Saat kedua orang tua
mereka harus bekerja, mereka akan ditinggalkan di rumah, suatu keadaan yang
penuh resiko, terutama anak usia muda, dibawah tiga atau juga lima tahun. Jalan
keluar hanyalah ketersediaan pendidikan di luar lingkungan keluarga, sekolah
dan sejenisnya. Rekontruksi pendidikan dengan membangun kembali konsep sekolah
dan persekolahan menjadi suatu keharusan.
Kehadiran ruang maya, cyber space, terutama
internet perlu disikapi secara arif, tak usah takut, melalui pemikiran matang
membangun teori pendidikan. Keyakinan, teori, dan terapan teknisnya perlu
dicari, dikaji, dan dievaluasi. Mengambil oper praktik berhasil belumlah
jaminan sukse perbaikan pendidikan bangsa. Isu persaingan, sekolah kelas
internasional, pengajaran dengan medium bahasa asing, pendidikan kejuruanmayoritas
menggantikan pendidikan akademik perlu dikaji, belajar dari sejarah tahun awal
abad 20 dan dari dunia internasional tahun 70an akan menjadikan kita cerdas.
Ian Winchestern (1990) memberikan gambaran bagaimana standar pendidikan
literasi abad 19 telah digunakan dia abad 20 yang berakibat banyak masalah,
terutama hilangnya kemanusiaan dalam strukutur sekolah dan universitas. Sinyalemem
dehumanisasi dan materialisme semakin jelas dan berdampak luas dalam kehidupan.
Pendidikan perlu membangun kultur, masyarakat dan kemanusiaan.
Pendidikan kompetetif, perlukah?
Visi Depdiknas: Insan Indonesia
cerdas dan kompetitif 2005 perlu dicermati sebagai budaya membangun kehidupan
bangsa yang cerdas. Populernya usaha membangun sekolah- sekolah dan universitas
bertaraf internasional sebagai strategi mencerdaskan kehidupan bangsa perlu
juga dicermati. Di tahun 80an kebijakan wawasan keungggulan dengan membangun
sekolah – sekolah dan kelas – kelas unggulan memiliki nada serupa. Dewasa ini sedang diusahakan mengubah
proporsi SMA dan SMK secara dramatis perlu belajar dari pengalaman dekade awal
abad 20 ketika Belanda di dalam praktik menyangsikan dampak perluasan
pendidikan rakyat bagi kemajuan Indonesia. Usaha memajukan masyarakat dalam
arti sosial, ekonomi, politik perlu dikaji. Kasus negara – negara skandinavia,
terutama swedia yang pendidikannya telah tinggi di abad 17an ternyata tak mampu
menggerakan industrialisasi. Hal serupa di negara – negara barat lainnya. Hal
ini mengisyaratkan bahwa pembangunan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa perlu pemikiran
dan pengkajian mendalam, terutama membangun teori pendidikan yang tepat
menjawab tantangan jaman. Sekitar sepuluh tahun yang lalu comparative education
society in europe menggelar konferensi
dengan tema State-Market-Civil Society memberikan gambaran bagaimana bangsa ini
memadukan tiga hal penting: membangun bangsa, membangun masyarakat madani dan
menghadapi pasar global, suatu konsepyualisasi yang tak cukup dengan spekulasi,
kekuasaan, ideologi, dan kepentingan. Ada kesan bahwa dalam era desentralisasi
ini, mind-sets nasional, sentral masih dominan di daerah dan dampak terhadap
pendidikan tak jauh berbeda, kalau tak lebih buruk,dari mental yang sama saat
di pusat.
Penutup
Masalah
pendidikan,persekolahan, dan kemasyarakatan saling bertaut, tali temali sangat
kompleks. Pemahaman secara simultan dan mendasar terhadap mereka sangat
penting. Tidak jarang kita secara sepihak melihat persoalan pendidikan,
persoalan persekolahan, dan persoalan kemasyarakatan yang berdampak naifnya
menyelesaikan masing-masing kelompok permasalahan tersebut. Banyak permasalahan
pendidikan bermula dari permasalahan kemasyarakatan, dan begitu juga
sebaliknya. Aneka kehilangan di sekolah seperti disinggung dimuka akarnya ada
di masyarakat dan kembali memantapkan permasalahannya di masyarakat.
Bangsa
ini melalui kantor presiden, gubernur,bupati,rektor dapat menyusun agenda
kajian secara sungguh-sungguh terhadappermasalahan pendidikan bangsa dengan itu
pemahaman dangkal terhadap oersoalan pendidikan dalam konteks keluasannya dapat
diperoleh. Pemahaman terhadap permasalahan pendidikan dan mata rantai
keterkaitannya hendaklah tak dilakukan dengan ibarat orang berenang, tahu hanya
di permukaan, melainkan dengan menyelam, tahu dan faham. Presiden,
gubernur,bupati, rektor dapat memobilisir kitarannya guna memahami dan
menyikapi isu-isu dan masalah-masalah yang berkembang dikaitkan dengan arti dan
peranan pendidikan bangsa, terutama sekolah dan universitas, bagi kemajuan
bangsa di semua bidang.
Gagasan
dan kebijakan pendidikan selalu bersifat hipotesis atau prediktif, terutama
tanpa kajian empirik yang memadai. Memang pendidikan tak cukup didasarkan pada
hasil kajian keilmuan, melainkan juga dengan aneka ideologi dan keyakinan.
Keduanya perlu dipadukan.
Referensi
Amstrong ,Thomas,.(2006).The best school : How
human development resarch should infom educational practice.
Alexandria, VA: ASCD.
Boyett, Joseph & Boyett, . Jimmie. (1998). The
guru guide: The best ideas of the top management thinkers
..pp.81-128 New York: John Wiley & Sons, Inc
Culbert, Samuel A. (1996). Mind-sets management:
The heard of leadership. New York, Oxford: Oxford University Press.
Glasser, William M.D. (1993). The quality
school teacher: specific suggestion for teacher...New York: Harper
Perennial.
Goodlad, John J. (1994). Educational renewal:
Better teachers, better schools. San Fancisco:Jessey-Bass Publishers
Winchester, Ian (1990). “ The standard picture
of literacy and its critics”. Comparative Education Review:34,
1:21-40