Jumat, 27 April 2012

PENDIDIKAN KARAKTER PROFETIK

Menghadirkan Misi Profetik dalam Pendidikan
Kajian Team Education Center BEM REMA UNY 2010

 “Dalam transformasi yang sangat cepat ini, pendidikan tampil sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai peluang banyak untuk meluruskan bias dari nilai-nilai transformatif. Pasalnya sekarang, pendidikan tidak hanya  mengalami perubahan, akan tetapi berganti  wujud dan penampilannya, kalau tidak dikatakan lepas sama sekali dari misi profetik yaitu memanusiakan manusia.”.
                                                                                                                             ( Khoiron Rosyadi)

Pendahuluan
Zaman ini adalah kehidupan dengan penuh realita sebagai wajah dari dinamisasi kehidupan manusia abad-21. Semakin berprosesnya dunia ini maka manusia turut serta untuk ikut berperan dalam mewarnai dunia jagat raya dengan membawa misi dan idelologinya masing- masing.  Di era modern ini bangsa kita seperti bangsa yang sedang berdiri diatas sungai yang deras dan kesulitan untuk menyelamatkan diri. Arus globalisasi dan modernisasi era industri begitu kencang untuk di lawan, sedangkan kalau ikut dengan arus itu maka  kita akan basah kuyup dan berganti baju dengan corak warna bangsa lain.  Pengaruh materialisme, kapitalisme menjadi “agresor raksasa” yang dengan perlahan-lahan telah mengikis bangsa ini menjadi bangsa penurut, tunduk pada kemajuan teknologi, mengagungkan pasar dan menjadi “ahli konsumtif”.  Di samping itu, faktor permasalahan dalam negeri tidak mau kalah, KKN yang membudaya dan terus ber-generasi, akhlak anak bangsa yang memprihatinkan, kemiskinan dan kebodohan adalah masalah yang pelik dan kusut untuk kita urai dari mana akar permasalahan sebenarnya. Permasalahan-permasalahan itu semua memberikan ekses-ekses negatif yang berakibat pada runtuhnya sendi-sendi bangsa ini.

Bidang politik, ekonomi, sosial-budaya termasuk pendidikan merupakan sendi kehidupan bangsa ini yang telah terkena imbas dari permasalahan yang diciptakan manusia global (internasional ) maupun lokal (bangsa sendiri).  Dengan demikian, orang hanya memaknai kehidupan dengan  kaca mata realita untuk menyadari apa yang terjadi. Problem manusia modern saat ini begitu kompleks dan memperihatinkan. Manusia yang semula merdeka, yang merasa menjadi pusat dari segala sesuatu, kini telah diturunkan derajatnya menjadi tak lebih dari sebagai bagian dari mesin- mesin raksasa teknologi modern. Karena proses inilah, maka pandangan tentang manusia menjadi tereduksi. Nilai manusia kini terdegradasi oleh proses bekerjanya teknologi. Di barat kini telah terjadi pergeseran konsepsi tentang manusia. Manusia pada zaman abad ressainans digambarkan sebagai pusat segala sesuatu. Posisi manuisa semacam ini, celakanya, justru dijustifikasi oleh banyak aliran filsafat kontemporer barat. Manusia memahami keadaan berdasarkan apa yang dia lihat sebagai dinamisai kehidupannya. Orang berbuat korupsi itu adalah kehidupan, bertindak tidak jujur dan mengukur kebenaran berdasarkan rasio sendiri adalah kehidupan. Ini adalah masalah kemanusaiaan yang menyebabkan manusia kehilangan derajatnya (dehumanisasi), baik sebagai Khalifah maupuan Abdullah.

Kita sedang menghadapi ‘’perang“ , ghazwul fiqr atau intelektual aggression. Musuh kita adalah materialisme dan sekularisme dunia modern. Kita semata-mata untuk mengubah mentalitas umat, mempersiapkan umat memasuki era industrialisasi, globalisasi dan perdagangan bebas. Melalui diseminasi lewat penerbitan, seminar, training gagasan akan mencapai umat. Diharapkan bahwa pada 2020 umat sudah siap ,menghadapi perubahan-perubahan itu. Kita selalu bertanya-tanya,  bagaimana masalah ini bisa diatasi sedangkan yang menciptakan masalah itu adalah manusia itu sendiri. Pendidikan dengan  misi mulianya membentuk manusia berkarakter mulai diragukan perannya, padahal pendidikan adalah seni membentuk kepribadian manusia. Kemudian, timbul pertanyaan, bagaimana “industri pencetak” (pendidikan) menghasilkan manusia berkarakter  sedangkan “industri pencetak” itu sendiri penuh dengan masalah.

Pendidikan itu mahal, pendidikan menjadi alat komersialisasi dan pendidikan gagal membentuk karakter manusia seutuhnya adalah beberapa inventaris masalah yang sering muncul di arena publik. Prof. Dr. Wuryadi, MS (Ketua Dewan Pendidikan DIY) menginventarisir beberapa permasalahan dalam  pendidikan Indonesia. Permasalahan itu adalah arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang menjauhkan dari aspirasi pendidikan untuk semua, adanya upaya secara sistematis untuk menempatkan institusi pendidikan di Indonesia lebih sebagai corporate institution (permintaan WTO kepada KADIN), adanya upaya untuk menyebarluaskan logika corporateness, yaitu tidak ada pendidikan yang bermutu tanpa biaya mahal dan adanya upaya secara sistematis untuk memasang kriteria mutu sebagai pintu untuk keterbukaan institusi pendidikan di Indonesia bagi campur tangan global. Di era reformasi, dunia pendidikan tinggi di Indonesia memasuki babak baru, yaitu kapitalisme perguruan tinggi. Di ranah apapun, dogma utama kapitalisme memang ingin mencetak capital sebesar-besarnya. Akibatnya, pendidikan sebagai unit usaha pencetak uang sehingga biaya pendidikan makin mahal. Dari berbagai fenomena permasalahan ini maka ada dua hal yang menjadi point penting yang bisa kita jadikan lensa untuk melihat “fenomena sakitnya pendidikan” saat ini.

Pertama, Pendidikan belum mempunyai “ruh”. Ruh yang dimaksud dalam pendidikan disini adalah menghadirkan kembali misi profetik keagamaan untuk disajikan ke ruang publik. Mengenai hal ini, kita tidak lagi berdebat mengenai dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama dalam legal-formal. Akan tetapi kita berbicara spirit yang menjiwai pendidikan itu sendiri yang diantarnya pendidikan yang humanis dan dapat memainkan peran liberasi (pembebasan) yang membebaskan dari segala penindasan, kebodohan, kemiskinan. Ruh pendidikan dapat menjadi imunitas agar perannya untuk membentuk manusia yang berkarakter ideal dapat terwujud tanpa ada ganggguan dalam prosesnya. Ruh itu akan menjadi “oase pendidikan” di tengah keringnya makna akan kehidupan yang sering dialami manusia, menjadi penawar dalam melakukan filter dari pengarus globalisasi seperti kapitalisme dan materialisme di era modernitas. Ruh itu adalah nilai humanisasi dan liberasi yang didasarkan pada nilai transendental-keimanan.

Humanisasi adalah proses memanusiakan manusia, memperlakukan manusia sesuai dengan fitrahnya, bukan dianggap robot yang bisa dikendalikan dan bukan pula hewan yang menjadi suruhan. Pendidikan humanis adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai generasi pembelajar, bukan hanya sebagai subjek didik maupun objek didik. Spirit humanisasi dalam pendidikan adalah spirit untuk mengajar dan belajar yang harus dilakukan oleh pendidik maupun peserta didik.

Kedua, adanya  model manusia sebagai tauladan. Dalam pendidikan, khususnya pendidikan karakter yang telah menjadi kesepakatan decion making pendidikan Indonesia harus menampilkan sosok manusia yang di jadikan panutan atau model manusia yang harus di tiru sebagaimana sesuai dengan output dari pendidikan karakter itu sendiri.  Model manusia seperti ini adalah model manusia yang didukung oleh kekuatan dan daya pengaruh ketuhanan (spiritualitas), melakukan evolusi dan transformasi kedirian dari jiwa hewani menjadi jiwa insani. Makhluk Tuhan yang telah memberikan contoh untuk melakukan ini semua adalah tidak lain seorang nabi (prophet). Nabi merupakan model dan teladan manusia yang paling lengkap dan sempurna dalam berinteraksi didua dimensi kehidupan, yakni kehidupan dalam tatanan ketuhanan maupun dalam tatanan keinsanan dan kemakhklukan. Sifat-sitaf Nabi pun sebenarnya sudah tersirat ditujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (transendensi), berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan kita harus menghadirkan spirit prophetic dalam setiap proses belajar mengajar. Spirit  prophetic ini mengajarkan ketauladanan sebagai harga mutlak. Anak didik senantiasa diarahkan pada niatan ibadah sebagai hamba Tuhan dalam segala aktivitasnya. Makhluk sebagai yang di ciptakan Tuhan maka tidak bisa menapikan diri dari petunjuk Tuhan.

Optimalisasi dan Urgensi Nilai Profetik dalam Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan disetiap negara. Azyumardi Azra (2008;35-36)  mengaitkan pendidikan dengan budaya dan agama sebagai kekuatan penanaman nilai bagi peserta didik. Pendidikan selain mencangkup proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan juga merupakan proses yang strategis untuk menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbudi luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya. Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi  kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam  terbentuknya individu dan masyarakat yang berkatakter, berkeadaan dan berharkat.

Armai Arief  (2008;45-46) mendukung tiga sumber nilai ini yang berperan membentuk karakter bangsa. Dalam upaya pembangunan karakter bangsa melalui pendekatan budaya, pendidikan dan agama merupakan pendekatan yang mampu menyentuh persoalan, karena ketiganya memiliki keterkaitan yang erat dan langsung bersentuhan, bahkan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat.  Seiring dengan perkembangan global, dimana terjadi globalisasi nilai-nilai dan budaya telah membawa masyarakat kita untuk tidak bisa lepas dari pengaruh globalisasi tersebut. Dengan alasan tidak mau ketinggalan zaman atau mengikuti zaman modern  sebagian masyarakat kita seolah lupa terhadap budaya yang selama ini dipegangnya. Ini pemaknaan modernisasi yang salah, karena kehidupan modern seharusnya diwarnai dengan kehidupan yang realistis dan rasional.

Banyaknya kalangan  terutama kaum akademisi yang memberikan perhatian khusus mengenai pendidikan karakter. Berbicara mengenai karakter memang cukup complicated apabila kita kaitkan dengan beberapa bidang ilmu yang memiliki ruang pengetahuan mengenai  karakter itu sendiri terutama kaitannya dengan manusia. Ketika manusia bertingkah laku maka  kita mengenal antropologi yang konsen mempelajari mengenai manusia. Ketika berbicara prilaku manusia tentang  baik dan buruk maka kita dihadapkan dengan disiplin ilmu moral, etika. Begitu pula dengan masalah kejiwaan yang melahirkan perbuatan maka kita melihat peran disiplin ilmu psikologi didalamnya. Ketika berbicara mengenai kehidupan  interaksi dan sosialiasai sesama manusia maka kita juga dihadapkan dengan ilmu sosiologi.

H.A.R Tilaar (2008 ;17-18) dalam “Karakter Bangsa dalam Perspektif Pedagogik Kontemporer”) mengemukakan beberapa arti dari istilah karakter. Istilah karakter (character) atau dalam bahasa Indonesia kadang-kadang diterjemahkan dengan watak, sifat hakiki seseorang atau suatu kelompok atau suatu bangsa. Namun demikian istilah watak (character) mempunyai arti yang sangat beragam, antara lain sebagai berikut:
1) Karakter berarti jati diri seseorang yang meliputi keseluruhan sikap/tingkah laku (behaviour) seseorang yang dapat dikenali dalam berbagai situasi. 2) Dalam arti sempit karakter adalaha sifat  atau karakteristik dari seseorang yang sangat menonjol sehingga merupakan trade mark orang tersebut. 7) Apabila kita mendengar ungkapan sebagai berikut: “Oh, itu memang sudah wataknya”. Artinya tingkah laku,hasil karya seseorang tersebut menggambarkan ,kualitas pribadi tertentu yang dimiliki oleh seseorang itu. 8) Pemain film tersebut adalah pemain watak (pemain karakter) dapat juga disebut sebagai pemain watak. Atau dalam ungkapan: “pribadi Kublai khan yang keras itu di mainkan oleh pemain watak yang tepat”. 9) Huruf didalam abjad juga di sebut karakter. 10) Simbol-simbol yang  digunakan dalam komputer disebut juga karakter.

Apabila kita simak makna dari istilah karakter tersebut diatas, maka pertama , kita lihat adanya muatan etis didalam karakter itu. Kedua, karakter merupakan milik personal dari seseorang ataupun suatu msyarakat atau bangsa. Dengan menggunakan kacamata nilai etis dan personal inilah kita akan memaknai” karakter” sebagai milik manusia seutuhnya.  Simon Philips,  karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi suatu pemikiran, sikap dan prilaku yang ditampilkan. Doni Kusuma mengemukakan bahwa karakter adalah kepribadian. 

Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya, sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Menjelaskan arti karakter baik secara etimologis maupun istilah terutama dari para ahli akan kita temukan arti berbeda tergantung cara pandang, bidang keilmuan yang dimiliki dan metode pendekatan yang di lakukan, akan tetapi semuanya mengarah pada pembahasan tentang manusia baik sebagi makluk individu maupun sosial. Disinilah peran profetik untuk menginternalisasikan nilai-nilainya kedalam pendidikan karakter. Pada dasarnya pendidikan karakter adalah berbicara mengenai potensi yang ada didalam diri manusia. Manusia memiliki potensi fisik, akal dan hati, pendidikan profetik hendaknya bisa memanfaatkan tiga potensi ini. Kalau pengertian karakter yang dikemukakan para ahli diatas bahwa karakter adalah kepribadian, prilaku atau nilai-nilai yang mendasari perbuatan manusia maka kita tinggal menambahkan saja bahwa semua itu dapat merujuk pada karakter manusia paripurna (nabi).  Karena pendidikan profetik tidak mengamini adanya model pendidikan yang hanya menekankan kemajuan intelektual, kognisi dan hafalan.

Dengan demikian, hal ini jelas tidak mewakili potensi lain yang manusia miliki dan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri .  Oleh karena itu, apapun konsep pendidikan yang dibuat, intinya pendidikan harus diarahkan pada tujuan manusia untuk beribadah dalam rangka melaksanakan misi dari  Allah. Konsep pendidikan (karakter) profetik  menjadi urgent dalam rangka menyelamatkan manusia dari hagemoni derasnya paham barat yang dapat menyebabkan dehumanisai. Kalau kita mengandaikan manusia sebagai robot, maka baterai atau listrik dari robot itu adalah arus listrik profetik dan Tuhan pemegang remot kontrolnya. Nilai-nilai profetik keagamaan dalam ruang pendidikan harus kita hadirkan dalam implementasi dan tercermin dari konsensus sosok prophet sebagai modelnya.

Menyimak Kembali Silsilah Munculnya Gagasan  Ilmu Sosial profetik

Ilmu sosial profetik merupakan teori yang cukup fenomenal sebagai proses ikhtiar yang panjang bapak cendikiawan muslim dan budayawan Indonesia, Kontowijoyo. Berawal dari perdebatan mengenai istilah teologi dikalangan umat islam, kemudian usulan ilmu sosial transformatif dan akhirnya teori ilmu sosial profetik. Paling tidak, ada dua hal yang menjadi cara yang dilakukan oleh Kuntowijoyo sebelum merumuskan teori ilmu sosial profetik (ISP). Dua hal itu adalah berdasarkan pengalaman lapangan dan pengetahuan dalam teks. Pertama, pengalaman ketika adanya perdebatan mengenai istilah teologi antara kalangan islam konvensional dengan mereka yang terlatih dalam tradisi barat. Gagasan yang di lontarkan oleh Moeslim Abdurahman mengundang reaksi dari kalangan islam konvensional karena menganggap tidak relevan lagi teologi-teologi tradisional  yang menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam pelbagai kalam klasik. Sementara pihak kedua mengemukakan gagasan bahwa kita perlu merumuskan suatu ideololgi baru yang disebut teologi transformatif yang lebih pada refkeksi aktual dan empiris. Disini, Kuntowijoyo mencoba bersikap netral, dia hanya ingin mengungkapkan bahwa mengenai gagasan pembaharuan teologi belum “diterima” dimasyarakat kita. Hal ini dikarenakan bahwa konsep tersbut sebagai suatu cabang khazanah ilmu pengetahuan    keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan, tentang tauhid.

Itu sebabnya mereka menganggap gagasan mengenai pembaharuan teologi adalah gagasan yang aneh dan membingungkan karena hal ini berarti mengubah doktrin sentral islam mengenai keesaan Tuhan. Akan tetapi, Kuntowijoyo sepertinya tidak mau terjebak dalam perdebatan akademik ini. Dengan analisisnya yang mumpuni, dia mencoba menawarkan istilah ilmu sosial transformatif kendatipun usulan istilah ini belum finish. Dengan mengganti istilah “teologi” ke “ilmu sosial”, Kunto ingin menegaskan sifat dan maksud dari gagasan tersebut. Jika gagasan pembaharuan teologi adalah agar agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas, maka metode yang efektif untuk maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran agama kedalam bentuk suatu teori sosial. Oleh karena itu, ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek  yang bersifat empiris, historis dan temporal. Maksud gagasan tersebut tidak perlu diberi pretense doktrinal karena toh kita juga mengakui relativitas ilmu. Kemunculan gagasan ilmu sosial bagi Kunto lebih mudah daripada menggunakan istilah “teologi”, karena ilmu sosial membuka kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi dan rekontruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris maupun normatif. Kalau menggunakan  istilah teologi, misalnya, “teologi pembebasan” yang muncul dari kalangan Kristen.  Jika dirumuskan dalam pretense doktrinal bahwa hakikat teologi Kristen adalah teologi pembebasan, maka pengandaian sosialnya tentu ada penindasan struktural. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi Kuntowijoyo, bagaimana teologi semacam ini berfungsi dalam dalam masyarakat yang tidak terjadi penindasan structural.  Dari sinilah kunto mulai mencoba menilai bahwa”teori sosial” lebih efektif daripada “teologi sosial”. Dengan perangkat teori sosial, kita akan mampu merekayasa transformasi melalui bahasa yag objektif. Disamping itu, dengan teori sosial bidang garapnya lebih bersifat empiris, historis dan temporal. (hal 85-86)

Namun demikian, lagi-lagi Kuntowijoyo memberikan pelajaran bagi kita akan sistematisnya dalam menyusun sebuah kerangka teori. Dari istilah teori sosial yang diusulkan, Kunto kembali dihadapkan pada mandegnya ilmu sosial dewasa ini. Dari hal inilah  muncul gagasan tentang ilmu sosial transformatif walaupun akhirnya timbul persolan baru seperti ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk siapa dan oleh siapa? Sampai disini Kuntowijoyo sadar bahwa  ilmu sosial transformatif tidak memberikan jawaban yang jelas. Dari berbagai pertanyaaan-pertanyaan yang terinventaris dan jungkir balik berbagai istilah inilah akhirnya gagasan emas mengenai ilmu-ilmu sosial profetik lahir. Kelahiran dari gagasan ilmu sosial  profetik inilah yang menurut Kunto dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di kemukakan diatas tadi.

Ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk kearah mana trasnformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Maksudnya dari cita-cita etik dan profetik tertentu itu adalah berdasarkan cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi. Tiga muatan nilai ini diambil dari surat Al-Imran:110 yang telah menjadi karakteristik ilmu sosial profetik sekaligus menjadi istilah yang umum dengan makna kreatif. Inilah jejak-jejak dengan perjalanan panjang munculnya gagasan ilmu sosial profetik  yang diawali dari pengalaman sebuah seminar. Kedua, pengetahauan dalam teks. Walaupun ilmu sosial profetik terlahir dari gagasan Kuntowijoyo, benih-benih kelahiran  gagasan ilmu sosial profetik ini sebelumnya diilhami oleh M. Iqbal.  Asal usul intelektual ilmu sosial profetik adalah buku Muhammad Iqbal “Membangun Kembali Fikiran Agama dalam Islam” (Djakarta: Tintamaas, 1966). Dalam bab tentang “Jiwa kebudayaan Islam” dengan mengutip kata-kata serorang sufi, Abdul Quddus, Iqbal memaparkan perbedaan kesadaran Rasul (kesadaran profetik) dengan kesadaran mistik. Abdul Quddus mengatakan ”Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”. Seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Seorang intelektual tidak boleh berpangku tangan sementara dunia akan tenggelam. Istilah profetik dimunculkan pertama kali oleh warga Negara Prancis bernama Roger Garaudy ketika dia menelusuri tentang Islam. Dalam proses penelusurannya itu dia menjadi muallaf dan kemudian menulis buku yang berjudul “Janji-Janji Islam”. Akan tetapi tentang pengertian profetik sendiri dikenalkan oleh seorang filosof sosial. Dawam Rahardjo dalam pengantar bukunya Kuntowijoyo (1991), “Paradigma Islam:Interpretasi Untuk Aksi” mengatakan bahwa, pengertian profetik, anatara lain dibuat terkenal oleh filosof sosial dan ekonom besar AS, Kenneth Boulding.

Memaknai Gagasan Pendidikan Profetik

Ada dua variabel yang melatarbelakangi dari gagasan pendidikan karakter profetik dalam tulisan ini. Pertama, Pendidikan Karakter. Munculnya gagasan pendidikan karakter ini sebagai respon dari gagalnya proses pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia yang bermoral yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan agama. Lembaga pendidikan hanya berhasil mencetak manusia yang hafal akan pelajaran, pintar menjawab soal, tapi itu di lakukan dengan kecurangan, tidak jujur sehingga yang didapat hanya nilai-nilai akademik tanpa nilai moral-etik. Akan tetapi gagasan ini layaknya pisau bermata dua, di satu sisi misi mulia untuk membentuk karakter manusia akan tetapi di sisi lain sistem pendidikan masih menggunakan rule of law yang klasik. Evaluasi pendidikan terhadap peserta didik yang menekankan aspek intelektual, tes dalam suatu pekerjaan yang memberikan porsi “gendut” pada nilai akademik, pembelajaran teacher center dan “meng-anak tirikan” kemampuan emosional serta spiritual adalah  fakta publik yang rasionalnya tidak sesuai dengan visi pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan yang semestinya membebaskan manusia dari berbgai permasalahan kehidupan malah terpenjara oleh sistem pendidikan itu sendiri. Pendidikan karakter sejatinya sebagai wadah pembebasan yang membebaskan manusia  dari kebodohan, penindasan dan kemiskinan karena  pendidikan adalah pembebasan (empowering) dari berbagai penindasan kehidupan bangsa yang cerdas.

Kedua, Karakter Profetik. Berbicara mengenai karakter dalam kerangka etis dan miliki personal meng-objek-kan karakter substantif yang mengarah pada sosok manusia, tokoh yang  menjadi tauladan untuk di jadikan model karakter yang hendak di capai. Karakter profetik ini penting sebagai ruh yang membentengi pendidikan dengan berbagai ekses-ekses negatif yang datang dari derasnya arus globalisasi di era modernitas ini. Melihat fenomena dunia sekarang, Max Weber (1958) dalam sebuah tesisnya mengatakan bahwa kita hidup di alam yang ditandai oleh rasionalisasi dan intelektualiasi, dan terutama ditandai oleh kekecewaan dunia. Dunia tidak lagi menjadi fenomena keramat, kehidupan bukan lagi merupakan misteri yang tidak dapat di duga. Nasib manusia tidak lagi ditangan manusia super. Agama yang di suatu waktu bersekongkol dengan kemajuan manusia tidak diperlukan lagi. Protestantisme mempermudah perkembangan kapitalisme, tapi kini protestantisme jaya berdasarkan pada landasan bersifat mekanik dan tidak lagi memerlukan dukungan agama. Betapa weber melihat kenyataan hidup sudah makin jauh dari nilai kemanusiaan, landasan moral transendental bukan satu-satunya kepulangan yang menjanjikan kedamaian. Ini karena semakin jauh jarak manusia dengan nilai-nilai sakral-religius. Pertanyaanya adalah, siapa yang akan  mengembangkan  iklim yang sudah mengalami distorsi pada sebuah iklim  yang mempunyai landasan nilai etik dan moral-transendental, sehingga kehidupan kembali menampakan wajah aslinya, yaitu wajah kemanusiaan. Karena westernisasai telah merambah ke sendi pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Kekhawatiran ini disampaikan oleh Cary Nelson bahwa bahaya-bahaya atas universitas abad 21 yaitu 1) adanya korporatisasi/neoliberalisme pendidikan, 2) intrumentalisme: pendidikan termasuk pendidikan tinggi tidak memiliki idealisme, tapi hanya menjadi instrumen untuk mencari keuntungan, dan  3). ancaman neoliberalisme terhadap disiplin akademik.

Kekhawatiran Cary Nelson ini sudah terjadi di bangsa kita dengan bukti empiris di lapangan yang menjadi produk pendidikan siap kerja tapi lemah softskill. Pandangan perguruan tinggi terhadap lulusan yang “high competence” adalah lulusan dengan IPK tinggi dan lulus dalam waktu yang cepat (<4 tahun). Sedangkan dunia industri menyatakan bahwa yang di maksud dengan lulusan yang “high competence” yaitu mereka yang memiliki kemampuan dalam aspek teknis dan sikap yang baik. (Illah Sailah, 2008). Oleh karena itu, prilaku baik seseorang yang salah satunya memiliki kecerdasan emosional, memiliki peran dominan dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang bahwa, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Sarjana yang lahir di era reformasi sekarang ini umumnya lebih pragmatis dan mengalami “kekosongan intelektualitas”. Mereka menjadi apatis terhadap kondisi masyarakat dan mengalami kegagapan ketika berbicara topik yang lebih luas. Tanpa adanya keterampilan sosial, bekal hard skill dan soft skill, mereka hanya menjadi insan yang robotik.

Pendidikan Profetik merupakan rekayasa sosial sebagai solusi alternatif dari kegelisahan pendidikan yang berjalan tanpa ruh dengan arahan yang jelas. Prof. DR.Zamroni dalam seminar internasional “the role of social studies in the context of nation and character building” menyampaikan bahwa: karakter tidak otomatis berkembang pada diri warga bangsa atau peserta didik. Perlu ada rekayasa sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang jelas. Rekayasa sosial ini semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi yang merupakan partisipasi dari berbagai pihak sekolah/lembaga pendidikan secara mandiri tidak akan mampu mengembangkan karakter dikalangan peserta didik. Rekayasa sosial untuk pembangunan karakter perlu di rencanakan dan dilaksanakan sebaik dan secermat mungkin. Dalam hal ini, pendidikan karakter profetik bisa melakukan rekayasa sosial seperti melakukan kolaborasi nilai spiritual-transendental dengan keunikan  budaya bangsa yang melibatkan lembaga pendidikan, lingkungan keluarga dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

Pendidikan Karakter dalam Konteks History Indonesia Masa Kini

Di tahun 2010, Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter. sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa maka pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan. M. Nuh menyayangkan dengan output dari pendidikan selama ini yang jauh dari harapan. Penegak hukum yang mestinya harus menegakkan hukum ternyata harus dihukum. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik. Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu adalah sebagian dari fenomena yang bersumber pada karakter. Manusia-manusia bangsa ini sangat memperihatinkan akan jeleknya karakter yang dimiliki. Media sebagai alat mobilasasi massa menyuguhkan refrensi orang yang tidak jelas identitasnya dengan berbagai acara infotainment, iklan dan berbagai program televisi yang tidak sesuai dengan identitas bangsa ini. Akibatnya adalah anak didik malas belajar karena suka menonton kartun, banyak orantua cerai karena mereka selalu melihat perceraian para artis yang hal itu mereka anggap biasa dan akhirnya mereka mengikuti juga. Buruknya kualitas program tv Indonesia, media liberal yang berkiblat pada rating, tidak adanya formulasi edukasi dari pemerintah , anak-anak menghabiskan waktu rata-rata 4 jam/ hari di depan tv (Kidia,2009). Sangat disayangkan media televisi yang seharusnya mengkonstruksi paradigma dan menciptakan peradaban melalui tayangan edukasi tapi tercemar dengan hura-hura dan hiburan.   Kalau kita mengingat kembali mengenai program pendidikan karakter sebenarnya sudah di mulai sejak lama. “Proyek” tentang program pendidikan karakter merupakan proyek yang sudah lama berjalan akan tetapi belum menemukan “format mujarab” dalam hal implementasi dan evaluasinya. Naik surutnya program pendidikan karakter ini sudah dikenal sejak zaman orde baru. Pada masa orde baru, untuk membantu pembentukan karakter bangsa Pendidikan Budi Pekerti masuk menjadi salah satu mata pelajaran dalam kurikulum SD 1947, pendidkan budi pekerti lantas di gabung dengan Pendidikan Agama dalam kurikulum 1964 dengan nama Agama/Budi Pekerti, juga ada nama pelajaran khusus tentang kewarganegaraan yang disebut civic.

Berbagai macam cara memandang pendidikan budi pekerti, entah itu dianggap sebagai mata pelajaran khusus, atau terintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain seperti Pendidikan Agama, Sejarah, PPKn, PMP, Pendidikan Kewarganegaraan dll, menunjukan bahwa bangsa ini sebenarnya memiliki keprihatinan mendalam tentang pembentukan katrakter bangsa. Namun, ketidakjelasan konseptual tentang makna pendidikan budi pekerti, seperti tercermin dalam campur aduknya pendidikan budi pekerti dalam mata pelajaran pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan kesejahteraan keluarga, pendidikan agama dan lain-lain mengindikasikan bahwa pemikiran tentang pendidikan karakter itu tetap bergulir dalam sejarah pendidikan bangsa ini. Situasi ini sesunggguhnya menantang kita untuk kembali dapat meletakan dan memahami pendidikan karakter bagi pembentukan kepribadian bangsa.  (Doni Koesoema, 2007; 50-51). Kita sering di hadapkan dengan istilah yang hampir sama dalam maknanya tapi beda settingnya. Misalnya diskursus mengenai pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.  Kita sering di hadapkan dalam pada perdebatan akademis mengenai empat macam pendidikan ini, Apakah semuanya memilki kesamaan? Kalau iya, maka di mana letak persamaannya? Kalaupun beda, dimana perbedaannya?

Doni Koesoema memberikan gambaran antara pendidikan karakter dengan pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun perbedaan ini bukan perbedaan yang tidak ada hubungannya satu sama lain, melainkan keterkaitan yang utuh dan saling melengkapi. Penjelasan di bawah ini secara singkat memberikan kita pemahaman dari maksud yang dikemukakan diatas.

1.   Pendidikan karakter dan pendidikan moral. Perbedaan antara pendidikan karakter dan pendidikan moral adalah ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil keputusan. Pendidikan moral ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang sedangkan pendidikan karakter ruang lingkupnya adalah pengambilan keputusan terdapat dalam diri individu, namun keputusan dalam lembaga pendidikan melibatkan struktur dan relasi kekuasaan.
2.  Pendidikan karakter dan pendidikan nilai. Pada pendidikan nilai yang perlu diklarifikasi adalah system nilai individu  sedangkan dalam pendidikan karakter yang perlu diklarifikasi adalah system nilai individu dan kelompok yang biasanya tercermin dalam relasi kekuasaan yang sifatnya politis. Pendidikan karakter dan pendidikan agama. Agama merupakan sebuah pondasi yang lebih kokoh, kemartabatan yang paling luhur, kekayaan yang paling tinggi, dan sumber kedamaian manusia yang paling dalam. Pendidikan karakter menjadi bangunan dari fondasi iman, realisasi nilai spiritual dari teks menuju konteks
3.  Pendidikan karakter dan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan menjadi sumber formal-struktrual pendidikan karakter dan pendidikan karakter memuat nilai-nilai demokratis.

Dibalik gagasan pendidikan karakter sepertinya belum menyentuh hakikat sesungguhnya. Kesalahan memahami dari tujuan Negara “…mencerdaskan kehidupan bangsa” dapat berakibat pada makin jauhnya tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri karena yang sekarang terjadi adalah pemahaman tentang kata “cerdas” yang menekankan pada aspek intelektual belaka. Suparlan (2004; 3-6) dalam bukunya “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dari Konsepsi sampai Implementasi,” mencoba membongkar logika berfikir sperti ini. Kata cerdas tidak hanya terbatas pada Makna yang telah dipahami oleh kebannyakan dewasa ini, misalnya seperti sinonim kata “cerdik, pandai, pintar” (Kamus, Dewan, 1997:232). Makna yang  luas karena kata cerdas tidak hanya terbatas pada aspek mental, tetapi juga mengandung makna dalam aspek fisikal, misalnya dengan makna “sempurna pertumbuhan badannya seperti sehat, tangkas” (Kamus, Dewan, 1007:232). Adapun ada pihak yang berpendapat bahwa rumusan tujuan Negara dalam bidang itu seharusnya berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”,dengan alasan bahwa yang cerdas itu akan tampak dalam pola berfikir, bersikap dan bertindak warga negaranya.

Kesalahan makna atau konsepsi tentang rumusan itu akan menyebabkan terjadinya kesimpangsiuran dalam orientasi, yang lebih jauh kemudian akan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh, jika pemahaman tentang “kecerdasan” itu semata-mata karena hanya terbatas pada kecerdasan intelektual, maka implementasi pada proses pendidikan akan menekankan pada proses dan hasil belajar yang bersifat akademis semata-mata. Akibatnya sisi lain dari kecerdasan itu tidak pernah mendapat perhatian. Kesalahan pemaknaan terhadap kecerdasan yang hanya menekankan kecerdasan intelektual itu lebih jauh akan tereflaksi secara nyata pada pemilihan strategi, pendekatan, metode pembelajaran, kurikulum yang berisi bahan ajar, sistem penilaian pendidikan, sampai dengan bentuk laporan hasil belajar berupa buku rapor yang diberikan kepada orangtua. Kesalahan konsep lebih jauh lagi akan mengakibatkan terjadinya kesalahan fatal dalam sistem implementasinya. Teringat pada soal raport sebagai contoh, sistem rangking atau  peringkat itu terlalu memihak pada aspek akademis. Angka-angka pada rapor hanya menunjukan prestasi siswa dalam bidang akademis, dan sama sekali tidak menunjukan keberhasilan siswa pada bidang lainnya atau tipe kecerdasan lainnya. Sistem peringkat dalam raport tersebut sangat menafikan adanya kemajemukan dalam kecerdasan  yang dimiliki oleh setiap individu manusia yang memang memiliki keunikan. Hal demikian di ungkap oleh Sartono mukadis dengan wacana system “bintang” untuk menggantikan sistem rangking (Kompas, 19 Juni 2003).

Pendidikan Profetik : Peluang dan Tantangan dalam Implementasi

Pendidikan profetik merupakan pendidikan yang di format untuk peradaban manusia karena pendidikan profetik memasukan konteks pengalaman manusia dengan wahyu.  Pendidikan profetik berakar pada nilai-nilai wahyu sehingga tidak bersandar pada konteks teori tentang pendidikan yang selama ini ada seperti behaviourisme dan positivisme. Dalam dimensi keyakinan, manusia bertujuan untuk bertemu dengan Tuhannya (ingat peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW) . Hal ini merupakan spirit profetik karena Nabi sesudah bertemu Tuhan kemudian tidak tetap untuk selalu bersama Tuhannya akan tetapi memilih kembali ke Bumi untuk bergabung dengan umatnya.

Pendidikan profetik berbicara mengenai Idealita (Khalifah), realita (kejahiliahan) dan Metode (pendidikan). Manusia disamping  sebagai khalifah (pemimpin) juga sebagai  abdullah (hamba Tuhan). Nabi seperti guru yang membuka pintu peradaban yang membebaskan . Hadirnya  seorang Nabi ini diawali dengan Iqra (spirit learning). Spirit learning ini menempatkan Nabi sebagai seorang Guru yang memberikan pencerahan pada umatnya.  Peradaban yang inspiratif hanya bisa dilakukan oleh guru yang mempunyai karakter profetik. Pendidikan harus memimpin peradaban karena kalau ekonomi yang memimpin maka akan melahirkan kompetisi seperti perebutan kekayaan alam. Paradigma profetik mencoba melakukan format pendidikan yang bisa menggeser paradigma kompetisi menjadi spirit bersinergi contohnya saling melengkapi akan kebutuhan hidup masing-masing. Pendidikan karakter adalah bagian dari pendidikan profetik. Misalnya kenapa orang Nasrani semangat mendirikan rumah sakit karena punya mempunyai spirit profetik dari Nabi mereka (Nabi Isa yang mukjizatnya dapat menyembuhkan). Cukup sudah ekonomi memimpin globalisasi , saatnya pendidikan yang bangkit bukan hanya sektor ekonomi.

Berbicara mengenai profetik adalah berbicara mengenai manusia, tokoh, idola, dan panutan. Tapi tidak sekedar itu, berbicara model yang menjadi panutan untuk diikuti bukan karena kelebihan yang dimiliki model itu dan kemudian melahirkan “kebanggaan pasif” bagi yang mengetahuinya. Makna profetik lebih pada peniruan total (total imitation) akan setiap perbuatan dan tingkah laku yang dilakukannya. Inilah perbedaan konsep pendidikan yang ber-karakter profetik dengan konsep pendidikan yang lainnya. Pendidikan karakter profetik mempunyai misi mulia untuk mengembalikan fitrah manusia yang berkeadaban dan berkebudayaan tanpa meninggalkan kepribadian sebagai keunikannya yang dimilki. Namun begitu, gagasan pendidikan profetik memiliki tantangan dan peluangnya sendiri. Tantangannya adalah korelasi antara pendidikan profetik yang memiliki kekhasan prophet dengan nilai kebangsaan suatu Negara serta dengan ragam mulkulturalisme. Pertama, pendidikan keagaman dan kebangsaan. a). Pendidikan karakter profetik harus disandingkan dengan karakter kebangsaan yang menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia karena apabila karakter profetik disajikan tanpa bumbu keindonesiaan maka konsep profetik tidak akan berlaku karena Indonesia bukan negara agama. 

Oleh karena itu, konsep profetik terhalang sistem pendidikan Indonesia yang selama ini menekankan pada karakter kebangsaan.  b). Konsep profetik harus sesuai dengan ruang dan waktu. Peranan yang di lakukan Nabi yang berada di Arab mulai dari Makkah-Madinah tentu mempunyai perbedaan dengan Indonesia. Mulai dari obyek permasalahan yang ada, karakteristik masyarakat dan metode yang di lakukan. Misalnya, di makkah Nabi membebaskan manusia dari kejahiliahan agama tapi sekarang kita di Indonesia menghadapi manusia yang beragama. Bahkan, konsep yang menjadi realita tentang liberasi di zaman Nabi dengan sekarang beda. Zaman Nabi, wujud liberasi misalnya kebebasan menyatakan pendapat oleh siapapun tanpa memandang status sosial kalau di Indonesia kebebasan disini adalah kebebasan dalam demokrasi. Tapi karena bebasnya demokrasi di Indonesia malah terjerumus menjadi demokrasi yang individualistis. c). Konsep karakter profetik harus dihadapkan pada zaman kekinian masyarakat Indonesia yang menjadi karakteristik bangsa. Pendidikan profetik merupakan peluang keagamaan tapi mempunyai tantangan yang dihadapkan pada realita kebangsaan. d). Mendudukan antara konsep keagamaan dan kebangsaan tidak dimaksudkan dalam kedudukan yang horizontal, atas-bawah, ilahiah-kauniyah, akan tetapi konsep keagamaan-kebangsaan harus dilihat dalam pandangan kolaboratif kekhususan lokal suatu bangsa dengan ajaran wahyu agar terjadi sinkronisasi antara nalar wahyu dengan nalar akal. e). Konsep profetik dalam pembelajaran misalnya, dosen tidak menjadi pusat pembelajaran karena hanya akan menimbulkan ketergantungan sumber pembelajaran kepada mahasiswa. Mahasiswa yang harus menjadi pusat belajar (student center) agar bisa mandiri dan tidak ada ketergantungan (liberasi), sedangkan dosen hanya sebagai pendamping. Konsep inilah yang merupakan konsep yang kolaborasi dan konsultatif antara dosen dan mahasiswa.

Kedua, multikulturalisme. Konsep multikultur  tidak  dipermasalahkan dalam kacamata pendidian profetik karena kita tidak meniadakan akan suatu perbedaan. Namun, yang dipermasalahkan adalah paham yang mengakui kebebasan dalam perbedaan tanpa ada batas. Konsep pendidikan profetik mengiyakan perbedaan akan tetapi harus ada keyakinan atau nilai universal yang disepakati bersama. Dalam keragaman ini (multikultur) dalam lingkup transendensi tercermin dalam Pancasila sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa). Sila ini mengajarkan kesepakatan bersama adanya lima Negara di Indonesia  yaitu Islam, Kristen, Katolik Protestan, Hindu dan Budha. Sila ini juga sebagai legitimasi warga Negara Indonesia untuk berislam, berkatolik dan sebagainya.

Hal ini sudah disepakati bersama sehingga  tidak ada kemunculan pemahaman atau aliran lain yang dapat melahirkan agama baru. Berbicara Profetik adalah berbicara orangnya (person) sedangkan ketika nilai ini menjadi kolektivitas sosial maka akan menjadi masyarakat madani (ummat). Gagasan mengenai pendidikan profetik merupakan gagasan filosofis dan ideologis yang lahir untuk merespon berbagai permasalahan pendidikan Indonesia saat ini.

Muh. Khoirur Roziqin dalam skripsinya berjudul “Format Pendidian Profetik ditengah Transformasi Sosial Budaya” (telaah Kritis Pemikiran Kuntowijoyo), dibab I ia mencoba memaknai dari konsep pendidikan profetik yang dibuat oleh beberapa penulis diantaranya adalah Khoiron Rosyid dan Moh. Sofan. Muh. Khoirur Roziqin menjelaskan bahwa, Khoiron Rosyid dalam bukunya Pendidikan Profetik tidak memaparkan adanya sebuah konsep pendidikan profetik seperti apa yang relevan pada era transformatif seperti sekarang ini. Proses pendidikan profetik ditengah transformasi sosial budaya belum dilaksanakan sepenuhnya karena tidak adanya suatu konsep yang jelas dan matang. Aktualisasi sebagai proses yang menjadikan konsep-konsep ideal terealisasi menjadi tindakan nyata pijakannya. Hal tersebut dapat dipahami dengan menempatkan dimensi aktualiasi pada mata rantai suatu siklus dinamika: konsep dasar, konsep operasional dan aktualisasi, terhadap objeknya yang dalam hal ini manusia sebagai subjek didik. dijadikan rujukan sebagai proses awal supaya pendidikan dapat berjalan sinergi. Dan dalam hal ini yang menjadi subjek adalah manusia. Selanjutnya perlu adanya suatu planning konsep operasional benar-benar matang, maka siap diaktualisasikan dalam lembaga pendidikan.

Penutup

Menghadirkan misi profetik dalam pendidikan merupakan ikhtiar untuk meneguhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan fitrahnya. Menghadirkan misi profetik dalam pendidikan tidak hanya upaya untuk menjelaskan akan pentingnya pembentukan karakter manusia dalam pendidikan akan tetapi juga diarahkan pada transformasi yang harus dilakuakn. Pendidikan bervisi profetik dianggap sebagai pendidikan alternatif untuk menciptakan pendidikan yang memiliki etika (ethical literacy) yakni etika profetik, atau setidak-tidaknya pendidikan tidak sekedar pengetahuan tekstual belaka, sehingga lulusan pendidikan kohesif hidup didalam masyarakat, dan tidak hanya mondar-mandir menawarkan ijazah, akan tetapi  mereka langsung memanfaatkan kemampuan untuk eksistensi hidup dan menghadapi kehidupan.

Tiga pilar yang menjadi nilai pendidikan profetik seperti humanisai, liberasi dan transendensi harus menjadi konsep dasar yang ditrasformasikan menjadi konsep operasional. Muh.Khoirur Roziqin yang mengutip dari bukunya Paulo Freire Pendidikan Kaum Tertindas menegaskan humanisnya konsep  humanisasi itu sendiri. Humanisasi menegaskan manusia sebagai makhluk yang berkesadaran. Ia ada didalam dan bersama dengan dunianya. Implikasinya, ia harus “hidup sendiri” bersama dengan manusia lain dan realitas yang melingkupinya. Humanisasi ini yang akan membawa rakyat pada perubahan realitas secara manusiawi. Dalam konteks ini perubahan bukan berarti berbaliknya realitas kaum tertindas, melainkan teratasinya kontradiksi antara kaum penindas dan kaum tertindas, sehingga berubah menjadi saling memanusiakan. Pendidikan profetik bertujuan membentuk paradigma baru dari dari tradisi yang telah berkembang selama ini yang banyak kecenderungannya pada masalah-masalah normatif. Liberasi adalah pendekatan revolusioner, yang dalam konteks Indonesia masa kini biaya sosialnya terlalu mahal, sehingga umat Islam hanya perlu mengambil intinya, yaitu: usaha yang sungguh-sungguh.

Anak-anak sejak dini hendaknya sudah diajarkan  mandiri dalam menangani berbagai persoalannya agar ketika sudah dewasa dia sudah terbiasa untuk mandiri tanpa bergantung pada orang lain[32]. Transendensi dalam konteks ini adalah kepercayaan persatuan bukan yang menimbulkan perbedaan dan melahirkan kepercayaan baru. Kepercayaan kita adalah kepercayaan keimanan yang mengakui adannya Allah yang satu. Kepercayaan ini dapat menjadi prinsip yang mampu membongkar logika kepercayaan athesime yang sebenarnya merupakan kepercayaan irrasional dalam kacamata fitrah seorang manusia. Bisa kita ihat pada realita empiris bahwa kepercayaaan pada takhayul, mitos dan berbagai kepercayaan yang menomorduakan Tuhan telah menimbulkan disintegrasi komunal, agama bahkan bangsa. Pendidikan Humanistik mengorientasikan proses pendidikannya sebagai berikut:

Bertujuan memanusiakan manusia dan memanusiakan masyarakat.

 Materinya memuat ilmu-illmu kemanusiaa dan filasafat manusia, ilmu agama yang menerangkan transendensi hubungan manusia dengan Tuhan, ilmu etika yang mengajaran nilai-nilai luhur kemanusiaa dan ilmu estetika yang mengajarkan nilai-nilai keindahan. Metodenya dengan cara menghargai harkat, martabat, dan derajat manusia sesuai dengan fitrahnya.

Permasalahan karakter bangsa adalah permasalahan yang sudah menjadi perhatian oleh para pendahulu pendiri bangsa ini, terutama pemerhati pendidikan. Potensi yang di miliki manusia terdiri dari potensi otak (berfikir), hati (menentukan baik buruk) dan fisik (sarana untuk bertindak).  Semua potensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam proses pembentukan karakter manusia karena telah berada pada orbit keseimbangan sebagaimana keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan manusia. I Gede Raka mengatakan bahawa para ‘founding fathers’ dari republik ini memperjuangkan kemerdekaan dengan memusatkan perhatian pada pembangunan karakter. Pesan yang sangat jelas mengenai pentingnya pembangunan karakter sudah disampaikan oleh W.R. Supratman dalam lagu Indonesia Raya, ’…Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya Untuk Indonesia Raya’.

W.R. Supratman menempatkan pembangunan ‘jiwa’, sebelum pembangunan ‘badan’, bukan sebaliknya. pembangunan karakter adalah pembangunan ‘jiwa’ bangsa. Menyadari bahwa karakter individu tidak bisa dibentuk hanya melalui satu atau dua kegiatan saja, maka harus disusun kurikulum pembinaan karakter yang berkesinambungan dan  terintegrasi dalam pembelajaran di kelas maupun di lingkungan pendidikan, dimana proses tersebut juga melibatkan guru atau dosen, karyawan, dan  lembaga-lembaga pendidikan yang lain terutama pemerintah, sehingga manfaat pembinaan karakter dapat dirasakan (Brooks, 2005).

Pendidikan Karakter Profetik menempatkan dimensi keimanan (transendental) sebagai ruh dalam setiap penyelenggaraan pendidikan karena segala segala sesuatunya tindakan manusia harus berawal dan berakhir sebagai wujud kehambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu tidak heran apabila dalam Pembukaan UUD 1945, para foundhing fathers membuat kalimat transendensi, “dengan Rahmat Allah Yang Maha Esa” sebagai nilai dasar konstitusi keimanan. Bahkan di dalam tujuan pendidikan di cantumkan secara tersirat “menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,………..”. Bila dasar hukum sudah sepakat dengan dimensi keimanan ini maka dengan bangga hati kita sebagai bangsa Indonesia telah melaksanakan Pancasila sebagai fundamentalnorm dalam Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dibidang pendidikan.

Pentingnya peranan seorang prophet (nabi), Michael H. Hart dalam bukunya berjudul “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah” menempatkan seorang Nabi menjadi urutan pertama sebagai tokoh yang berpengaruh sepanjang sejarah di dunia. Salah satu faktor  berpengaruhnya para Nabi adalah karena memiliki potensi intrinsik yaitu memiliki karakter atau kepribadian yang ideal, plus kesadaran yang tinggi akan peran dan tugasnya untuk melakukan perubahan pada umat untuk mencapai kondisi masyarakat yang sehat.Dengan demikian, sangat diperlukan sekali mengenai adanya reorientasi-substansi output dari proses pendidikan sehingga dengan seperti ini ada reformasi dalam sistem proses pembelajaran yang mempunyai tindakan transformatif yang meliputi humanisasi, liberasi dan transendensi. Dengan karakter profetik, peserta didik diorientasikan kepada tugas dan perannya di bumi (keluarga, sekolah dan masyarakat) dengan fase-fase yang di alaminya.

Diantara fase itu adalah afeksi yang melahirkan kesadaran untuk memperlakukan manusia sesamanya sesuai dengan fitrah manusia (humanis), berperan aktif untuk menanam bibit-bibit kebaikan di manapun ia berada (liberasi) yang semuanya di lakukan tanpa pamrih dan sombong yang pada akhirnya semua itu harus mengakar pada nilai keimanan kepada Tuhan (transendensi). Inilah misi profetik yang harus kita hadirkan kembali di arena publik demi terwujudnya insan yang ideal berdasarkan  keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Daftar Pustaka:
Forum Kajian Antropologi Indonesia, 2008, Refleksi Karakter Bangsa, FKAI: Jakarta.

Hart, H.Michael, 1982, “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”. Jakarta: PT      Dunia Pustaka.

Illah sailah,2008, Pengembangan Softskill di Perguruan Tinggi. Direktoriat Jendral Pendidikan Tinggi: Jakarta.

Koesoema, Doni. A, 2007, Pendidikan Karakter,Grasindo:Jakarta.

Kuntowijoyo,1991. Paradigma Islam: Intrepertasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan

------------------,2001”Muslim Tanpa Masjid”. Bandung: Mizan.

------------------, 2006. Islam sebagai Imu; Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muchtar Lubis, 2001, Manusia Indonesia, Yayasan Obor:Yogyakarta.

Nelson, Cary. 2010. No University Is An Island. New York University Press: New York.

Paulo Freire dkk, 1999, Menggugat Pendidikan (Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis), Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Paul Suparno, dkk, 2002, Reformasi Pendidikan; Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius.

Racmat R. Al-Banjari, ”Prophetic Leadership”( Yogyakarta:Diva Press, 2008).

Rosyadi, Khoiron, 2004, Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soepardo,dkk. 1963, Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (civics). Djakarta, Dinas Penerbitan Balai Pustaka.

Suparlan, 2004, Mencerdasakan Kehidupan Bangsa Dari Konsepsi Sampai Implementasi, HIKAYAT Publishing: Yogyakarta.

Yunus, Firdaus,M, 2004, Pendidikan Berbasis Realita Sosial, Logung Pustaka: Yogyakarta.

Lain-lain

Skripsi: Muh.Khoirur Roziqin “format Pendidian Profetik di tengah Transformasi Sosial Budaya” (telaah

Kritis Pemikiran Kuntowijoyo). UIN Sunan Kalikaga Yogyakarta, 2008.

Education Center, 2009, Pendidikan Karakter Kebangsaan, BEM REMA UNY, Yogyakarta.

Education Center, 2010, Internalisasi Nilai-nilai Profetik dalam Pendidikan Karakter, BEM REMA UNY, Yogyakarta.

H. A. R Tilaar, “Disparitas Filsafat Pendidikan Nasional  Reformasi Pendidikan Nasional Dan Kebijakan Pendidikan Nasional” , Jakarta, 24 September  2010.

Syarifuddin Jurdi dalam Seminar Nasional,”Pendidikan Profetik:Tantangan dan Peluang di Era Modernitas” di UNY, Yogyakarta 19 Juni 2010.

Buletin SMART News,”Komitmen FISE:Perang Melawan Plagiarisme”, FISE UNY. Yogyakarta, Edisi Perdana Volume 1 September 2010.

UU SISDIKNAS Pasal 3 No 20 tahun 2004.

Kompas, 19 Juni 2003

Harian Jogja, 8 Agustus 2010, Yogyakarta.

Koran Tempo, 4 November 2010


PENDIDIKAN NASIONAL

Refleksi Sistem Pendidikan Nasional dan Mencerdaskan Kehidupan

Oleh : Prof. Dr. Suyata, P.hD

Ada beberapa catatan tentang sistem pendidikan nasional kita sebagai masukan di dalam upaya perbaikan sistem pendidikan dan kehidupan bangsa menuju bangsa yang cerdas dalam arti yang luas, terpadu, fungsional, dan dinamis. Perubahan signifikan kehidupan bangsa di akhir tahun 1990-an menuntut pandangan, pemikiran, sikap, dan tindakan baru dalam kehidupan sehari-hari, terutama di tingkat keputusan makro yang diambil. Perbaikan kehidupan nyata hanya terjadi manakala aksi di lapangan sejalan dengan pikiran-pikiran yang mendasari usaha perbaikan. Secanggih apa pun suatu pengaturan, sehebat apa pun teori yang mendasari keputusan, dan seketat apapun pengawasan yang dilakukan, penentu keberhasilan, terutama sektor pendidikan, sejatinya berada di ruang-ruang kelas dan setting sekolah yang didukung sistem sosial kulturnya.
            Keyakinan yang dianut di sini paling tidak ada enam. Pertama, semua orang itu baik, pintar, dan mampu berbuat sejalan dengan sifat baik dan pintarnya. Kedua, sistem sosial dan sistem budaya menjadi medan dan kunci keberhasilan usaha. Ketiga, faktor manusia menjadi sentral dalam struktur dan kehidupan sekolah dan universitas, manakala keberhasilan bagi semua menjadi target. Keempat, siapa saja akan berhasil belajar bilamana suasana kebebasan berkembang dan belajar adalah proses membangun roda belajar berangkat silih berganti dari konsep dan atau aksi. Kelima, kunci keberhasilan terletak pada faktor-faktor tak teramati (intangible), oleh sebab itu menekankan perbaikan pada proses restrukturisasi tak lagi memadai. Keenam, guru dan kepala sekolah menjadi amat penting sebagai suatu tim dalam perbaikan pendidikan manakala bekerja dalam sistem yang mendukung baik internal maupun eksternal sebab pendidikan itu proses majemuk, belajar mengajar adalah berwatak sosial, kooperatif, dan kolaboratif.
            Butir-butir berikut diajukan guna melakukan refleksi perjalanan kehidupan bangsa dan pendidikan selama ini. Sistem persekolahan di negeri ini adalah sistem cangkokan, transplantasi yang masih berusaha memperoleh posisi dan peranan yang tepat dalam dinamika sistem kemasyarakatan negeri ini. Upaya menekan sistem kemasyarakatan yang ada akan berdampak negatif, counterproductive, atau bahkan kacau, chaos. Sistem persekolahan di negeri asal pencangkokan didasarkan pada permasalahan, filosofi, keyakinan, nilai-nilai, dan pemikiran tertentu, boleh jadi tak sejalan dengan hal serupa di negeri ini.

Jangan-jangan sistem kita bermasalah
            Dewasa ini sistem pendidikan nasional dengan intinya sistem persekolahan tetap menjadi isu penting berhadapan dengan kritikan, serangan, dan penolakan terhadapnya sebagai suatu sistem yang lemah dan gagal merealisasikan misi dan fungsinya. Lembaga yang dirancang diyakini dan diharapkan mampu mencerdaskan semua warga masyarakat ternyata hanya berdampak terhadap sebagian kecil dari mereka dan itu pun menyusut dalam waktu yang singkat. John Goodlad (1994, 207-208) memberikan pandangannya bahwa sistem persekolahan yang dikembangkan dewasa ini memberikan kriteria yang hanya dapat diakses dan dinikmati oleh sekelompok kecil sekolah, bukan oleh mayoritas sekolah. Sekolah yang dapat menikmati kriteria dan standar yang dikembangkan adalah sekolah yang dapat memilih siswa dengan latar belakang keluarga beruntung, berpendidikan baik. Kriteria sekolah baik dengan rujukan dasar ini berdampak pada terabaikannya siswa-siswa di luar latar belakang tersebut.
            Pengalaman dari sistem pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu yang panjang memberikan indikasi fenomena di atas. Pertanyaannya, mengapa perbaikan pendidikan dan perbaikan kehidupan masyarakat tak kunjung berhasil? Apakah yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita? Apakah berasal dari sistem, undang-undang, kurikulum, guru, dana, siswa, dan atau masyarakat? Adakah kejelasan teori dari berbagai undang-undang sistem pendidikan nasional kita dan produk-produk turunannya, baik itu pengaturan, kebijakan, program-program maupun implementasinya? Menemukan sumber utama permasalahan pendidikan bangsa (the right, the true question, problems) merupakan salah satu kunci pokok mengatasi tiga pertanyaan pokok tersebut.
            Amstrong (2006, 3-5) mengungkapkan dua wacana persekolahan dewasa ini, yakni wacana pengembangan prestasi akademik dan wacana pengembangan manusia. Wacana yang pertama sangat dominan paling tidak di dalam aksinya sistem persekolahan. Orang tua, tokoh masyarakat, dan berbagai pihak jika ditanya apakah yang harus dikembangkan di sekolah, jawab mereka dapat diduga: perkembangan semua dimensi kehidupan anak. Akan tetapi di dalam praktiknya mereka akan memilih mengembangkan hal-hal yang sifatnya akademis, yakni prestasi akademik anak-anak. Ini merupakan suatu yang dilematis. Usaha perbaikan pendidikan lebih dipengaruhi oleh kekuatan politik, sosial, dan ekonomi daripada perkembangan dan perubahan kebutuhan anak-anak. Kita banyak mendengar  dan menyaksikan bagaimana wacana pendidikan selalu mengaitkan dengan ranking pengembangan sumber daya manusia Indonesia di forum dunia, demi segera dikeluarkannya aneka kebijakan yang mengikat tingkat ASEAN, lingkar pasifik, perdagangan bebas dunia, dan hal sejenis. Sedangkan kebutuhan dan perkembangan anak cenderung diabaikan.

Sistem Persekolahan Kita Produk Cangkok mencangkok sepanjang sejarah bangsa
           
            Di negeri asal sitem persekolahan, mereka itu pada dasarnya adalah produk gerakan nasionalisme abad 19 di Eropa dan Amerika. Sistem-sistem persekolahan ini berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat bangsa-bangsa tersebut. Perkembangan lebih lanjut, sekolah dan persekolahan dikritik sebagai sistem yang cenderung memerhatikan fungsi otak yang sebelah kiri dan mengabaikan fungsi otak sebelah kanan, terutama oleh dominasi IQ dan sistem nilai kelompok tengah ke atas. Selain itu, sekolah dikelola dengan asas bahwa belajar itu individual digerakkan secara kompetitif.
            Ini berakibat anak-anak semakin individualistis berlebihan dan tak peduli orang lain dan ujung-ujungnya membahayakan kelangsungan hidup masyarakat. Padahal, belajar itu yang paling dalam adalah individual, tetapi hakikatnya adalah sosial. Clifford Geertz pernah mengungkapkan kajian di Indonesia (Jawa, Bali) bahwa belajar itu adalah sosial dan medannya ada di pasar, di halaman dusun, di aneka keramaian, dan sebagainya. Sekolah dan persekolahan yang mengisolasikan diri oleh ketatnya peraturan telah kehilangan daya dukung edukatif kitarannya. Sekitar tahun 1980-an kesadaran akan lemahnya sekolah dan sistem persekolah mulai dirasakan, dan para ahli sejarah menemukan sisi-sisi lemah itu dan dikembangkan oleh kajian sosiologi, antropologi, filsafat, dan ekonomi/industri baru. Dewasa ini sekolah dan sistem persekolahan memiliki makna baru (direkonstruksi, ditemukan kembali) sehingga menjadi suatu masyarakat belajar dan mengajar yang akrab dan dekat dengan kitarannya.
            Semenjak dasawarsa 1970-an, sistem pendidikan terlampau menangani masalah teknis, praktis, pragmatis, kurang menyentuh hal-hal substantif. Masuknya ideologi, kekuasaan, dan kepentingan diterima begitu saja sekedar menanti saat menggantikan posisi menguasai pengurusan pendidikan bangsa. Dengan demikian, pandangan yang hidup adalah ganti menteri, ganti kebijakan. Sementara itu di tingkat aksi, pengalaman rutin terus menguasai praksis pendidikan apa pun yang terjadi di tingkat pengambilan kebijakan. Mind-sets individual dan kolektif telah mendikte para pelaksana di lapangan ini berpikir, bersikap, dan bertindak. Umumnya keberadaan dan sentralnya mind-sets ini diabaikan.
            Dalam kaitan dengan mind-sets pendidikan bangsa, pergantian pemerintah dan materi nampaknya tak mengubah peta pemikiran dan praktik pendidikan. Oleh sebab itu kegagalan dari waktu ke waktu terus berjalan, apapun usaha untuk mengatasinya telah dilakukan. Keadaan demikian telah dilandasi juga oleh perhatian pendidikan kepada wacana pengembangan akademis yang berlebihan, yang terfokus pada hal-hal teknis, reduktif. Nilai-nilai kurang memperoleh perhatian dan pertimbangan atau bahkan dilupakan.

Mencermati yang hilang dalam sistem persekolahan.

            Para pakar mulai merasakan dan melihat adanya hal-hal yang hilang dari persekolahan dan sekolah bahkan juga dari universitas. Kehilangan itu sering dikaitkan dengan fenomena kehidupan yang semakin bernasalah, seperti timbulnya kelompok anak nakal, kegiatan anti sosial, ketidakpuasan yang meluas tentang banyak hal, dan seterusnya. Kehilangan paling mendasar dalam kehidupan,termasuk struktur sekolah dan universitas, adalah kemanusiaan, kultur, dan masyarakat yang berakibat hilangnya jati diri individu dan kolektif. Birokrasi sekolah da pengaturannya (regulasi) telah mempercepat secara sistematis dan sistemis lunturya jati diri, kebersamaan, akar budaya, dan kemanusiaan. Akibatnya bangsa yang cerdas tak akan tubuh dalam kondisi hilangnya faktor kemanusiaan, sosial, nilai- nilai sebagai basis kebersamaan dan komunikasi menjadi cerdas. Syaratnya pengaturan pendidikan membatasi menemukan solusi beraneka ragam terhadap corak permasalahan kemasyarakatan dan pendidikan yang bersifat majemuk.

Mencerdaskan bangsa sebagai rujukan utama

Keperluan membangun bangsa dan kehidupan bangsa yang cerdas telah disadari, dipikir, dicari, dan dirumuskan menjelang dan  segera setelah kemerdekaan bangsa diumukan. Undang- undang pokok pendidikan (pengajaran) pertama. Boleh jadi undang – undang yang sangat tepat menjawab watak jaman dan permasalahan pokok yang dihadapi yaitu undang- undang nomer 12 tahun 1954 junto undang- undang nomer 4 tahun 1950. Nasionalisasi dan demokratisasi membangun bangsa dan watak bangsa menjadi bangsa yang cerdas sangat pas dengan latar belakang dan arah berbangsa dan bernegara. Sayang semangat berfikir lebih dalam ini tak dilakukan oleh usaha- usaha menjawab tantangan jaman yangg hadir dan akan dihadapi. Perbaikan pendidikan bangsa dikerjakan dengan pemahaman sangat minimal akan masalah bangsa dan pendidikan bangsa. Ibaratnya luasnya luasnya masalah pendidikan itu puluhan hektar, kedalaman pemahaman hanya beberpa milimeter, perbaikan mutu kognitif anak bangsa tak dapat dengan informasi nilai rerata, terendah, dan tertinggi. Semangat mengatur secara garis besar dengan memberikan keleluasaan pengembangan nampaknya suatu ciri yang ditinggalkan pada pengaturan pendidikan paska undang- undang pertama tentang pendidikan. Cobalah lihat hal demikian pada undang – undang sistem pendidikan nasional yang terahir ini sedemikian rinci dan sedemikian regulatif.
            Di awal kemerdekaan sekitar limapuluh tahun silam, perbedaan institusi sekolah untuk membangun bangsa dan watak bangsa telah dilakukan. Sisa- sisa kepentingan kolonial, kedaerahan, kesukuan, keagamaan, kefeodalan, dan kelompok- kelompok lainnya diusahakan dengan nasionalisasi dan demokratisasi pendidikan persekolahan. Institusi persekolahan tetap menjadi pilihan dengan harapan memanfaatkan lewat membangun spirit dan jiwa nasional. Usaha tersebut bisa dibilang sukses, namun ketahanan dampaknya mulai diragukan. Sistem persekolahan suatu institusi pinjaman, cangkokan yang memiliki asumsi- asumsi sendiri dimasyarakat asal persekolahan tersebut. Kedekatan, kecocokan demham institusi asli di berbagai wilayah Indonesia tak pernah dikaji. Kini fenomena yany ditengarai Jonh Dewey mulai terlihat di sampeng itu, perubahan cepat dan besar masyarakat Indonesia sedang berlangsung. Pada saat yang sama hasil bentukan sistem persekolahan ditunjang oleh berbagai kondisi kehidupan masyarakat mulai dapat diraskan dan disaksikan fenomenanya. Sistem persekolahan lama ternyata mengandung benih negatif bagi kehidupan bersama yang bersatu dan dinamis.

Memperluas basis kebijakan dan aksi pendidikan pada fakta, pengetahuan teori   

Dunia pendidikan terlalu dikendalikan oleh ideologi, kekuasaan, dan kepentingan, terutama di tingkat birokrasi. Dampaknya adalah kendornya semangat menjadi pionir perbaikan dan perubahan, terbunuhnya berpikir dan berkreasi individual dan organisasi. Peringatan sisi negatif birokrasi ini telah dilontarkan saat krisis global tahun 70an. Tiga puluh tahun kemudian kita masih sangat menyukai birokrasi seolah-olah tanpa itu bangsa itu akan tenggelam. Pada hal karena birokrasi inilah salah satu sebab bangsa ini nyaris tenggelam dalam aneka permasalahan besar: konflik disemua tingkatan dan kehidupan, korupsi yang tetap meluas, lunturnya semangat pengabdian, maraknya individualisme egoisme berlebihan, rendahnya sense of crisis, kebodohan publik, dan sebagainya.
Hal-hal normatif dalam pendidikan memerlukan dukungan dan rujukan konteks dan kehidupan nyata. Untuk itu kegiatan penelitian dan pengkajian amat diperlukan sebagai salah satu masukan terhadap urusan pendidikan. Kini telah hadir kebutuhan dunia kerja sebagai dunia bekerja berbasis pengetahuan, pekerja adalah pekerja pengetahuan (knowledge workers). Bekerja berbasis tangan (fisik) telah bergeser ke arah bekerja berbasis otak, pikiran, teori.  

Struktural versus kultural

Birokrasi seperti disinggung dia atas cenderung memfokuskan hal-hal yang bersifat rasional, dimensi luar, struktur kehidupan yang segera dapat dijelaskan, dicari solusi teknis, diatu, dan diawasi. Kita dapat memperhatikan nasib undang-undang Sisdiknas nomer 20 tahun 2003, telah empat tahun berjalan tetapi tanda-tanda dampak nyata perbaikan pendidikan di tingkat aksi, apa lagi perbaikan kehidupan masyarakat, dipersoalkan. Pendidikan masih terlalu birokratis dan regulatif berlebihan, dan sarat dengan pengawasan di semua jenjang. Hasilnya boleh jadi kemandekan berpikir dan berbuat mengatasi permasalahan pokok pendidikan dan kehidupan.
Dimensi kultural kurang memperoleh perhatian secara memadai oleh fokus pada hal-hal yang segera dapat diamati. Perhatikan ucapan bahwa pendidikan perlu menyajikan hal-hal yang terukir; hal demikian mengabaikan kemungkinan bahwa aksi pendidikan itu memiliki dampak tertunda dan dampak yang tak dapat diamati oleh instrumen-instrumen yang sifatnya fisikal.
Kini mulai timbul kesadaran luas bahwa pendidikan, terutama persekolahan perlu didukung secara non-partisipan, inklusif dan berprinsip kemitraan luas. Sekolah bukanlah monopoli sumber pengaruh akademik, moral, sosial tanpa dukungan institusi eksternal disangsikan.
Faktor tersembunyi keberhasilan kehidupan, termasuk pendidikan di sekolah, terletak di dalam faktor tersembunyi antara lain keyakinan, nilai-nilai agama, budaya, dan sumber lainnya. Hal ini perlu dikaji dan dipahami peranannya dalam berbagai kegiatan belajar mengajar. Kajian-kajian sosial-kultural dan kaitannya dengan membangun sistem pendidikan yang antisipatif menjadi kebutuhan. Banyak rancangan solusi pendidikan yang seering dikritik terlau menyederhanakan permasalah dengan rancangan solusi yang kering pemikiran oleh fokus teknis. Tidak jarang kisah sukses menjadi acuhan tanpa memahami latar belakang sukses tersebut. Ambisi membangun sekolah-sekolah kelas internasional dapat terjerumus di dalam kekeliruan ini / hal ini yang kita saksikan referensi kisah sukses ini adalah adanya gerakan push-down yaitu menjadikan pendidikan kanak-kanak formal seperti belajar membaca, menulis, berhitung. Penelitian di uasaha ini cenderung menemukan banyak hal negatif. Memang gerakan perbaikan lima tahun pertama kehidupan cukup menjanjikan dalam perbaikan kehidupan masyarakat masyarakat bangsa.

Sekolah: Institusi  lama dengan makna baru?

Sekolah tetap penting dan srategis. Disadari atau pun tidak, mayoritas anak dan kaum muda akan menghabiskan waktu mereka cukup panjang di sekolah, apalagi dengan kebijakan wajib belajar yang terus ditingkatkan. Sampai saat in ipaling tidak mayoritas anak di indonesia akan berada di sekolah lebih dari 9 tahun. Sekolah dapat mengambil paranan signifikan membangun bangsa berwatak dan bangsa yang cerdas dengan dukungan masyarakat, terutama keluarga dan badan serta organisasi kemasyarakatan lainnya. John Dewey diawal abad 20 mencermati perubahan penting masyarakat amerika seperti proses fabrikasi, urbanisasi, dan emansipasi perempuan. Fabrikasi telah menggeser dan memindahkan kegiatan bekerja dan produksi ke pabrik dan ke tempat produksi lainnya. Akibatnya anak-anak muda tak lagi mendapatkan akses pengetahuan, keterampilan, dan aneka belajar lainnya. Berbagai kerajinan rumah tangga tak lagi beroperasi. Kegiatan pertanian di sekitar rumah menghilang. Keluarga bukan kesatuan produksi lagi. Katerampilan-keterampilan dasar tak lagi dimiliki anak-anak. Keadaan demikian tentu membawa dampak terhadap pendidikan.
Sisi lain adalah perpindahan orang dari desa menuju kota tempat pabrik-pabrik berlokasi. Orang dari berbagai tempat dan latar belakang etnis, agam, adat kebiasaan dan bahasa berkumpul di kota. Kota-kota hanyalah agregasi orang-orang yang bersama-sama berdiam diri, mereka tak dapat membangun suatu masyarakat oleh keterbatasan kebersamaan (commoness) dan komunikasi hambatan perbedaan bahasa misa. Agar orang-orang, migran dan immigran, dapat membangun suatu masyarakat baru, pendidikan membangun masyarakat tersebut perlu dirancang dan diusahakan. Dikonteks inilah perlu membangun ulang masyarakat melalui pendidikan. Pendidikan nasional perlu belajar dari fenomena ini.
Gelombang baru emansipasi telah mendorong para perempuan, ibu dan atau istri, mencari pekerjaan di luar rumah, di tempat-tempat kerja. Akibatnya, nasib anak-anak, terutama kelompok usia dini tak lagi memperoleh penjagaan dan pendidikan di rumah. Saat kedua orang tua mereka harus bekerja, mereka akan ditinggalkan di rumah, suatu keadaan yang penuh resiko, terutama anak usia muda, dibawah tiga atau juga lima tahun. Jalan keluar hanyalah ketersediaan pendidikan di luar lingkungan keluarga, sekolah dan sejenisnya. Rekontruksi pendidikan dengan membangun kembali konsep sekolah dan persekolahan menjadi suatu keharusan.
Kehadiran ruang maya, cyber space, terutama internet perlu disikapi secara arif, tak usah takut, melalui pemikiran matang membangun teori pendidikan. Keyakinan, teori, dan terapan teknisnya perlu dicari, dikaji, dan dievaluasi. Mengambil oper praktik berhasil belumlah jaminan sukse perbaikan pendidikan bangsa. Isu persaingan, sekolah kelas internasional, pengajaran dengan medium bahasa asing, pendidikan kejuruanmayoritas menggantikan pendidikan akademik perlu dikaji, belajar dari sejarah tahun awal abad 20 dan dari dunia internasional tahun 70an akan menjadikan kita cerdas. Ian Winchestern (1990) memberikan gambaran bagaimana standar pendidikan literasi abad 19 telah digunakan dia abad 20 yang berakibat banyak masalah, terutama hilangnya kemanusiaan dalam strukutur sekolah dan universitas. Sinyalemem dehumanisasi dan materialisme semakin jelas dan berdampak luas dalam kehidupan. Pendidikan perlu membangun kultur, masyarakat dan kemanusiaan.

Pendidikan kompetetif, perlukah?

            Visi Depdiknas: Insan Indonesia cerdas dan kompetitif 2005 perlu dicermati sebagai budaya membangun kehidupan bangsa yang cerdas. Populernya usaha membangun sekolah- sekolah dan universitas bertaraf internasional sebagai strategi mencerdaskan kehidupan bangsa perlu juga dicermati. Di tahun 80an kebijakan wawasan keungggulan dengan membangun sekolah – sekolah dan kelas – kelas unggulan memiliki nada  serupa. Dewasa ini sedang diusahakan mengubah proporsi SMA dan SMK secara dramatis perlu belajar dari pengalaman dekade awal abad 20 ketika Belanda di dalam praktik menyangsikan dampak perluasan pendidikan rakyat bagi kemajuan Indonesia. Usaha memajukan masyarakat dalam arti sosial, ekonomi, politik perlu dikaji. Kasus negara – negara skandinavia, terutama swedia yang pendidikannya telah tinggi di abad 17an ternyata tak mampu menggerakan industrialisasi. Hal serupa di negara – negara barat lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembangunan pendidikan untuk  mencerdaskan kehidupan bangsa perlu pemikiran dan pengkajian mendalam, terutama membangun teori pendidikan yang tepat menjawab tantangan jaman. Sekitar sepuluh tahun yang lalu comparative education society in europe menggelar  konferensi dengan tema State-Market-Civil Society memberikan gambaran bagaimana bangsa ini memadukan tiga hal penting: membangun bangsa, membangun masyarakat madani dan menghadapi pasar global, suatu konsepyualisasi yang tak cukup dengan spekulasi, kekuasaan, ideologi, dan kepentingan. Ada kesan bahwa dalam era desentralisasi ini, mind-sets nasional, sentral masih dominan di daerah dan dampak terhadap pendidikan tak jauh berbeda, kalau tak lebih buruk,dari mental yang sama saat di pusat.

Penutup
            Masalah pendidikan,persekolahan, dan kemasyarakatan saling bertaut, tali temali sangat kompleks. Pemahaman secara simultan dan mendasar terhadap mereka sangat penting. Tidak jarang kita secara sepihak melihat persoalan pendidikan, persoalan persekolahan, dan persoalan kemasyarakatan yang berdampak naifnya menyelesaikan masing-masing kelompok permasalahan tersebut. Banyak permasalahan pendidikan bermula dari permasalahan kemasyarakatan, dan begitu juga sebaliknya. Aneka kehilangan di sekolah seperti disinggung dimuka akarnya ada di masyarakat dan kembali memantapkan permasalahannya di masyarakat.
            Bangsa ini melalui kantor presiden, gubernur,bupati,rektor dapat menyusun agenda kajian secara sungguh-sungguh terhadappermasalahan pendidikan bangsa dengan itu pemahaman dangkal terhadap oersoalan pendidikan dalam konteks keluasannya dapat diperoleh. Pemahaman terhadap permasalahan pendidikan dan mata rantai keterkaitannya hendaklah tak dilakukan dengan ibarat orang berenang, tahu hanya di permukaan, melainkan dengan menyelam, tahu dan faham. Presiden, gubernur,bupati, rektor dapat memobilisir kitarannya guna memahami dan menyikapi isu-isu dan masalah-masalah yang berkembang dikaitkan dengan arti dan peranan pendidikan bangsa, terutama sekolah dan universitas, bagi kemajuan bangsa di semua bidang.
            Gagasan dan kebijakan pendidikan selalu bersifat hipotesis atau prediktif, terutama tanpa kajian empirik yang memadai. Memang pendidikan tak cukup didasarkan pada hasil kajian keilmuan, melainkan juga dengan aneka ideologi dan keyakinan. Keduanya perlu dipadukan.

Referensi

Amstrong ,Thomas,.(2006).The best school : How human development resarch should infom educational practice. Alexandria, VA: ASCD.

Boyett, Joseph & Boyett, . Jimmie. (1998). The guru guide: The best ideas of the top management thinkers ..pp.81-128 New York: John Wiley & Sons, Inc

Culbert, Samuel A. (1996). Mind-sets management: The heard of leadership. New York, Oxford: Oxford University Press.

Glasser, William M.D. (1993). The quality school teacher: specific suggestion for teacher...New York: Harper Perennial.

Goodlad, John J. (1994). Educational renewal: Better teachers, better schools. San Fancisco:Jessey-Bass Publishers

Winchester, Ian (1990). “ The standard picture of literacy and its critics”. Comparative Education Review:34, 1:21-40