Menghadirkan
Misi Profetik dalam Pendidikan
Kajian Team Education Center BEM REMA UNY 2010
“Dalam transformasi yang sangat cepat ini,
pendidikan tampil sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai peluang banyak
untuk meluruskan bias dari nilai-nilai transformatif. Pasalnya sekarang,
pendidikan tidak hanya mengalami
perubahan, akan tetapi berganti wujud
dan penampilannya, kalau tidak dikatakan lepas sama sekali dari misi profetik
yaitu memanusiakan manusia.”.
(
Khoiron Rosyadi)
Pendahuluan
Zaman ini adalah
kehidupan dengan penuh realita sebagai wajah dari dinamisasi kehidupan manusia
abad-21. Semakin berprosesnya dunia ini maka manusia turut serta untuk ikut
berperan dalam mewarnai dunia jagat raya dengan membawa misi dan idelologinya
masing- masing. Di era modern ini bangsa
kita seperti bangsa yang sedang berdiri diatas sungai yang deras dan kesulitan
untuk menyelamatkan diri. Arus globalisasi dan modernisasi era industri begitu
kencang untuk di lawan, sedangkan kalau ikut dengan arus itu maka kita akan basah kuyup dan berganti baju
dengan corak warna bangsa lain. Pengaruh
materialisme, kapitalisme menjadi “agresor raksasa” yang dengan perlahan-lahan
telah mengikis bangsa ini menjadi bangsa penurut, tunduk pada kemajuan
teknologi, mengagungkan pasar dan menjadi “ahli konsumtif”. Di samping itu, faktor permasalahan dalam
negeri tidak mau kalah, KKN yang membudaya dan terus ber-generasi, akhlak anak
bangsa yang memprihatinkan, kemiskinan dan kebodohan adalah masalah yang pelik
dan kusut untuk kita urai dari mana akar permasalahan sebenarnya. Permasalahan-permasalahan
itu semua memberikan ekses-ekses negatif yang berakibat pada runtuhnya
sendi-sendi bangsa ini.
Bidang politik,
ekonomi, sosial-budaya termasuk pendidikan merupakan sendi kehidupan bangsa ini
yang telah terkena imbas dari permasalahan yang diciptakan manusia global
(internasional ) maupun lokal (bangsa sendiri).
Dengan demikian, orang hanya memaknai kehidupan dengan kaca mata realita untuk menyadari apa yang
terjadi. Problem manusia modern saat ini begitu kompleks dan memperihatinkan.
Manusia yang semula merdeka, yang merasa menjadi pusat dari segala sesuatu,
kini telah diturunkan derajatnya menjadi tak lebih dari sebagai bagian dari
mesin- mesin raksasa teknologi modern. Karena proses inilah, maka pandangan
tentang manusia menjadi tereduksi. Nilai manusia kini terdegradasi oleh proses
bekerjanya teknologi. Di barat kini telah terjadi pergeseran konsepsi tentang
manusia. Manusia pada zaman abad ressainans digambarkan sebagai pusat segala
sesuatu. Posisi manuisa semacam ini, celakanya, justru dijustifikasi oleh
banyak aliran filsafat kontemporer barat. Manusia memahami keadaan berdasarkan
apa yang dia lihat sebagai dinamisai kehidupannya. Orang berbuat korupsi itu
adalah kehidupan, bertindak tidak jujur dan mengukur kebenaran berdasarkan
rasio sendiri adalah kehidupan. Ini adalah masalah kemanusaiaan yang
menyebabkan manusia kehilangan derajatnya (dehumanisasi), baik sebagai Khalifah
maupuan Abdullah.
Kita sedang menghadapi
‘’perang“ , ghazwul fiqr atau intelektual aggression. Musuh kita adalah materialisme
dan sekularisme dunia modern. Kita semata-mata untuk mengubah mentalitas umat,
mempersiapkan umat memasuki era industrialisasi, globalisasi dan perdagangan
bebas. Melalui diseminasi lewat penerbitan, seminar, training gagasan akan
mencapai umat. Diharapkan bahwa pada 2020 umat sudah siap ,menghadapi
perubahan-perubahan itu. Kita selalu bertanya-tanya, bagaimana masalah ini bisa diatasi sedangkan
yang menciptakan masalah itu adalah manusia itu sendiri. Pendidikan dengan misi mulianya membentuk manusia berkarakter
mulai diragukan perannya, padahal pendidikan adalah seni membentuk kepribadian
manusia. Kemudian, timbul pertanyaan, bagaimana “industri pencetak”
(pendidikan) menghasilkan manusia berkarakter
sedangkan “industri pencetak” itu sendiri penuh dengan masalah.
Pendidikan itu mahal,
pendidikan menjadi alat komersialisasi dan pendidikan gagal membentuk karakter
manusia seutuhnya adalah beberapa inventaris masalah yang sering muncul di
arena publik. Prof. Dr. Wuryadi, MS (Ketua Dewan Pendidikan DIY)
menginventarisir beberapa permasalahan dalam
pendidikan Indonesia. Permasalahan itu adalah arus globalisasi dan
liberalisasi pendidikan yang menjauhkan dari aspirasi pendidikan untuk semua,
adanya upaya secara sistematis untuk menempatkan institusi pendidikan di
Indonesia lebih sebagai corporate institution (permintaan WTO kepada KADIN),
adanya upaya untuk menyebarluaskan logika corporateness, yaitu tidak ada
pendidikan yang bermutu tanpa biaya mahal dan adanya upaya secara sistematis
untuk memasang kriteria mutu sebagai pintu untuk keterbukaan institusi
pendidikan di Indonesia bagi campur tangan global. Di era reformasi, dunia
pendidikan tinggi di Indonesia memasuki babak baru, yaitu kapitalisme perguruan
tinggi. Di ranah apapun, dogma utama kapitalisme memang ingin mencetak capital
sebesar-besarnya. Akibatnya, pendidikan sebagai unit usaha pencetak uang
sehingga biaya pendidikan makin mahal. Dari berbagai fenomena permasalahan ini
maka ada dua hal yang menjadi point penting yang bisa kita jadikan lensa untuk
melihat “fenomena sakitnya pendidikan” saat ini.
Pertama, Pendidikan
belum mempunyai “ruh”. Ruh yang dimaksud dalam pendidikan disini adalah
menghadirkan kembali misi profetik keagamaan untuk disajikan ke ruang publik.
Mengenai hal ini, kita tidak lagi berdebat mengenai dikotomi pendidikan umum
dan pendidikan agama dalam legal-formal. Akan tetapi kita berbicara spirit yang
menjiwai pendidikan itu sendiri yang diantarnya pendidikan yang humanis dan
dapat memainkan peran liberasi (pembebasan) yang membebaskan dari segala
penindasan, kebodohan, kemiskinan. Ruh pendidikan dapat menjadi imunitas agar
perannya untuk membentuk manusia yang berkarakter ideal dapat terwujud tanpa
ada ganggguan dalam prosesnya. Ruh itu akan menjadi “oase pendidikan” di tengah
keringnya makna akan kehidupan yang sering dialami manusia, menjadi penawar
dalam melakukan filter dari pengarus globalisasi seperti kapitalisme dan
materialisme di era modernitas. Ruh itu adalah nilai humanisasi dan liberasi
yang didasarkan pada nilai transendental-keimanan.
Humanisasi adalah
proses memanusiakan manusia, memperlakukan manusia sesuai dengan fitrahnya,
bukan dianggap robot yang bisa dikendalikan dan bukan pula hewan yang menjadi
suruhan. Pendidikan humanis adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai
generasi pembelajar, bukan hanya sebagai subjek didik maupun objek didik.
Spirit humanisasi dalam pendidikan adalah spirit untuk mengajar dan belajar
yang harus dilakukan oleh pendidik maupun peserta didik.
Kedua, adanya model manusia sebagai tauladan. Dalam
pendidikan, khususnya pendidikan karakter yang telah menjadi kesepakatan decion
making pendidikan Indonesia harus menampilkan sosok manusia yang di jadikan
panutan atau model manusia yang harus di tiru sebagaimana sesuai dengan output
dari pendidikan karakter itu sendiri.
Model manusia seperti ini adalah model manusia yang didukung oleh
kekuatan dan daya pengaruh ketuhanan (spiritualitas), melakukan evolusi dan
transformasi kedirian dari jiwa hewani menjadi jiwa insani. Makhluk Tuhan yang
telah memberikan contoh untuk melakukan ini semua adalah tidak lain seorang
nabi (prophet). Nabi merupakan model dan teladan manusia yang paling lengkap
dan sempurna dalam berinteraksi didua dimensi kehidupan, yakni kehidupan dalam
tatanan ketuhanan maupun dalam tatanan keinsanan dan kemakhklukan. Sifat-sitaf
Nabi pun sebenarnya sudah tersirat ditujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu
membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
(transendensi), berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan kita harus
menghadirkan spirit prophetic dalam setiap proses belajar mengajar. Spirit prophetic ini mengajarkan ketauladanan
sebagai harga mutlak. Anak didik senantiasa diarahkan pada niatan ibadah
sebagai hamba Tuhan dalam segala aktivitasnya. Makhluk sebagai yang di ciptakan
Tuhan maka tidak bisa menapikan diri dari petunjuk Tuhan.
Optimalisasi
dan Urgensi Nilai Profetik dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan
salah satu sektor penting dalam pembangunan disetiap negara. Azyumardi Azra
(2008;35-36) mengaitkan pendidikan
dengan budaya dan agama sebagai kekuatan penanaman nilai bagi peserta didik.
Pendidikan selain mencangkup proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan
juga merupakan proses yang strategis untuk menanamkan nilai dalam rangka
pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang
berbudi luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi
kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional
sepenuhnya dalam terbentuknya individu
dan masyarakat yang berkatakter, berkeadaan dan berharkat.
Armai Arief (2008;45-46) mendukung tiga sumber nilai ini
yang berperan membentuk karakter bangsa. Dalam upaya pembangunan karakter
bangsa melalui pendekatan budaya, pendidikan dan agama merupakan pendekatan
yang mampu menyentuh persoalan, karena ketiganya memiliki keterkaitan yang erat
dan langsung bersentuhan, bahkan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat. Seiring dengan perkembangan
global, dimana terjadi globalisasi nilai-nilai dan budaya telah membawa masyarakat
kita untuk tidak bisa lepas dari pengaruh globalisasi tersebut. Dengan alasan
tidak mau ketinggalan zaman atau mengikuti zaman modern sebagian masyarakat kita seolah lupa terhadap
budaya yang selama ini dipegangnya. Ini pemaknaan modernisasi yang salah,
karena kehidupan modern seharusnya diwarnai dengan kehidupan yang realistis dan
rasional.
Banyaknya kalangan terutama kaum akademisi yang memberikan
perhatian khusus mengenai pendidikan karakter. Berbicara mengenai karakter
memang cukup complicated apabila kita kaitkan dengan beberapa bidang ilmu yang
memiliki ruang pengetahuan mengenai
karakter itu sendiri terutama kaitannya dengan manusia. Ketika manusia
bertingkah laku maka kita mengenal
antropologi yang konsen mempelajari mengenai manusia. Ketika berbicara prilaku
manusia tentang baik dan buruk maka kita
dihadapkan dengan disiplin ilmu moral, etika. Begitu pula dengan masalah
kejiwaan yang melahirkan perbuatan maka kita melihat peran disiplin ilmu
psikologi didalamnya. Ketika berbicara mengenai kehidupan interaksi dan sosialiasai sesama manusia maka
kita juga dihadapkan dengan ilmu sosiologi.
H.A.R Tilaar (2008
;17-18) dalam “Karakter Bangsa dalam Perspektif Pedagogik Kontemporer”)
mengemukakan beberapa arti dari istilah karakter. Istilah karakter (character)
atau dalam bahasa Indonesia kadang-kadang diterjemahkan dengan watak, sifat
hakiki seseorang atau suatu kelompok atau suatu bangsa. Namun demikian istilah
watak (character) mempunyai arti yang sangat beragam, antara lain sebagai
berikut:
1) Karakter berarti
jati diri seseorang yang meliputi keseluruhan sikap/tingkah laku (behaviour)
seseorang yang dapat dikenali dalam berbagai situasi. 2) Dalam arti sempit
karakter adalaha sifat atau
karakteristik dari seseorang yang sangat menonjol sehingga merupakan trade mark
orang tersebut. 7) Apabila kita mendengar ungkapan sebagai berikut: “Oh, itu
memang sudah wataknya”. Artinya tingkah laku,hasil karya seseorang tersebut
menggambarkan ,kualitas pribadi tertentu yang dimiliki oleh seseorang itu. 8)
Pemain film tersebut adalah pemain watak (pemain karakter) dapat juga disebut
sebagai pemain watak. Atau dalam ungkapan: “pribadi Kublai khan yang keras itu
di mainkan oleh pemain watak yang tepat”. 9) Huruf didalam abjad juga di sebut
karakter. 10) Simbol-simbol yang
digunakan dalam komputer disebut juga karakter.
Apabila kita simak
makna dari istilah karakter tersebut diatas, maka pertama , kita lihat adanya
muatan etis didalam karakter itu. Kedua, karakter merupakan milik personal dari
seseorang ataupun suatu msyarakat atau bangsa. Dengan menggunakan kacamata
nilai etis dan personal inilah kita akan memaknai” karakter” sebagai milik
manusia seutuhnya. Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju
pada suatu sistem, yang melandasi suatu pemikiran, sikap dan prilaku yang
ditampilkan. Doni Kusuma mengemukakan bahwa karakter adalah kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya, sifat khas dari
seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.
Menjelaskan arti karakter baik secara etimologis maupun istilah terutama dari
para ahli akan kita temukan arti berbeda tergantung cara pandang, bidang
keilmuan yang dimiliki dan metode pendekatan yang di lakukan, akan tetapi
semuanya mengarah pada pembahasan tentang manusia baik sebagi makluk individu
maupun sosial. Disinilah peran profetik untuk menginternalisasikan
nilai-nilainya kedalam pendidikan karakter. Pada dasarnya pendidikan karakter
adalah berbicara mengenai potensi yang ada didalam diri manusia. Manusia
memiliki potensi fisik, akal dan hati, pendidikan profetik hendaknya bisa
memanfaatkan tiga potensi ini. Kalau pengertian karakter yang dikemukakan para
ahli diatas bahwa karakter adalah kepribadian, prilaku atau nilai-nilai yang
mendasari perbuatan manusia maka kita tinggal menambahkan saja bahwa semua itu
dapat merujuk pada karakter manusia paripurna (nabi). Karena pendidikan profetik tidak mengamini
adanya model pendidikan yang hanya menekankan kemajuan intelektual, kognisi dan
hafalan.
Dengan demikian, hal
ini jelas tidak mewakili potensi lain yang manusia miliki dan tidak sesuai
dengan tujuan pendidikan itu sendiri .
Oleh karena itu, apapun konsep pendidikan yang dibuat, intinya
pendidikan harus diarahkan pada tujuan manusia untuk beribadah dalam rangka
melaksanakan misi dari Allah. Konsep
pendidikan (karakter) profetik menjadi
urgent dalam rangka menyelamatkan manusia dari hagemoni derasnya paham barat
yang dapat menyebabkan dehumanisai. Kalau kita mengandaikan manusia sebagai
robot, maka baterai atau listrik dari robot itu adalah arus listrik profetik
dan Tuhan pemegang remot kontrolnya. Nilai-nilai profetik keagamaan dalam ruang
pendidikan harus kita hadirkan dalam implementasi dan tercermin dari konsensus sosok
prophet sebagai modelnya.
Menyimak
Kembali Silsilah Munculnya Gagasan Ilmu
Sosial profetik
Ilmu sosial profetik merupakan teori yang
cukup fenomenal sebagai proses ikhtiar yang panjang bapak cendikiawan muslim
dan budayawan Indonesia, Kontowijoyo. Berawal dari perdebatan mengenai istilah
teologi dikalangan umat islam, kemudian usulan ilmu sosial transformatif dan
akhirnya teori ilmu sosial profetik. Paling tidak, ada dua hal yang menjadi
cara yang dilakukan oleh Kuntowijoyo sebelum merumuskan teori ilmu sosial
profetik (ISP). Dua hal itu adalah berdasarkan pengalaman lapangan dan
pengetahuan dalam teks. Pertama, pengalaman ketika adanya perdebatan mengenai
istilah teologi antara kalangan islam konvensional dengan mereka yang terlatih
dalam tradisi barat. Gagasan yang di lontarkan oleh Moeslim Abdurahman
mengundang reaksi dari kalangan islam konvensional karena menganggap tidak
relevan lagi teologi-teologi tradisional
yang menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam
pelbagai kalam klasik. Sementara pihak kedua mengemukakan gagasan bahwa kita
perlu merumuskan suatu ideololgi baru yang disebut teologi transformatif yang
lebih pada refkeksi aktual dan empiris. Disini, Kuntowijoyo mencoba bersikap
netral, dia hanya ingin mengungkapkan bahwa mengenai gagasan pembaharuan
teologi belum “diterima” dimasyarakat kita. Hal ini dikarenakan bahwa konsep
tersbut sebagai suatu cabang khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang
ketuhanan, tentang tauhid.
Itu sebabnya mereka
menganggap gagasan mengenai pembaharuan teologi adalah gagasan yang aneh dan
membingungkan karena hal ini berarti mengubah doktrin sentral islam mengenai
keesaan Tuhan. Akan tetapi, Kuntowijoyo sepertinya tidak mau terjebak dalam
perdebatan akademik ini. Dengan analisisnya yang mumpuni, dia mencoba menawarkan
istilah ilmu sosial transformatif kendatipun usulan istilah ini belum finish.
Dengan mengganti istilah “teologi” ke “ilmu sosial”, Kunto ingin menegaskan
sifat dan maksud dari gagasan tersebut. Jika gagasan pembaharuan teologi adalah
agar agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas, maka metode yang
efektif untuk maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran agama kedalam bentuk
suatu teori sosial. Oleh karena itu, ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek
normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.
Maksud gagasan tersebut tidak perlu diberi pretense doktrinal karena toh kita
juga mengakui relativitas ilmu. Kemunculan gagasan ilmu sosial bagi Kunto lebih
mudah daripada menggunakan istilah “teologi”, karena ilmu sosial membuka
kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi dan rekontruksi secara terus menerus
baik melalui refleksi empiris maupun normatif. Kalau menggunakan istilah teologi, misalnya, “teologi
pembebasan” yang muncul dari kalangan Kristen.
Jika dirumuskan dalam pretense doktrinal bahwa hakikat teologi Kristen
adalah teologi pembebasan, maka pengandaian sosialnya tentu ada penindasan
struktural. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi Kuntowijoyo, bagaimana teologi semacam
ini berfungsi dalam dalam masyarakat yang tidak terjadi penindasan
structural. Dari sinilah kunto mulai
mencoba menilai bahwa”teori sosial” lebih efektif daripada “teologi sosial”.
Dengan perangkat teori sosial, kita akan mampu merekayasa transformasi melalui
bahasa yag objektif. Disamping itu, dengan teori sosial bidang garapnya lebih
bersifat empiris, historis dan temporal. (hal 85-86)
Namun demikian,
lagi-lagi Kuntowijoyo memberikan pelajaran bagi kita akan sistematisnya dalam
menyusun sebuah kerangka teori. Dari istilah teori sosial yang diusulkan, Kunto
kembali dihadapkan pada mandegnya ilmu sosial dewasa ini. Dari hal inilah muncul gagasan tentang ilmu sosial
transformatif walaupun akhirnya timbul persolan baru seperti ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk siapa dan oleh siapa? Sampai disini
Kuntowijoyo sadar bahwa ilmu sosial
transformatif tidak memberikan jawaban yang jelas. Dari berbagai
pertanyaaan-pertanyaan yang terinventaris dan jungkir balik berbagai istilah
inilah akhirnya gagasan emas mengenai ilmu-ilmu sosial profetik lahir.
Kelahiran dari gagasan ilmu sosial
profetik inilah yang menurut Kunto dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang di kemukakan diatas tadi.
Ilmu sosial profetik
tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi
petunjuk kearah mana trasnformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Ilmu
sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Maksudnya dari cita-cita etik
dan profetik tertentu itu adalah berdasarkan cita-cita humanisasi, liberasi dan
transendensi. Tiga muatan nilai ini diambil dari surat Al-Imran:110 yang telah
menjadi karakteristik ilmu sosial profetik sekaligus menjadi istilah yang umum
dengan makna kreatif. Inilah jejak-jejak dengan perjalanan panjang munculnya
gagasan ilmu sosial profetik yang
diawali dari pengalaman sebuah seminar. Kedua, pengetahauan dalam teks.
Walaupun ilmu sosial profetik terlahir dari gagasan Kuntowijoyo, benih-benih
kelahiran gagasan ilmu sosial profetik
ini sebelumnya diilhami oleh M. Iqbal.
Asal usul intelektual ilmu sosial profetik adalah buku Muhammad Iqbal
“Membangun Kembali Fikiran Agama dalam Islam” (Djakarta: Tintamaas, 1966).
Dalam bab tentang “Jiwa kebudayaan Islam” dengan mengutip kata-kata serorang
sufi, Abdul Quddus, Iqbal memaparkan perbedaan kesadaran Rasul (kesadaran
profetik) dengan kesadaran mistik. Abdul Quddus mengatakan ”Muhammad telah naik
ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau
aku yang mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”. Seorang intelektual
adalah pewaris Nabi. Seorang intelektual tidak boleh berpangku tangan sementara
dunia akan tenggelam. Istilah profetik dimunculkan pertama kali oleh warga Negara
Prancis bernama Roger Garaudy ketika dia menelusuri tentang Islam. Dalam proses
penelusurannya itu dia menjadi muallaf dan kemudian menulis buku yang berjudul
“Janji-Janji Islam”. Akan tetapi tentang pengertian profetik sendiri dikenalkan
oleh seorang filosof sosial. Dawam Rahardjo dalam pengantar bukunya Kuntowijoyo
(1991), “Paradigma Islam:Interpretasi Untuk Aksi” mengatakan bahwa, pengertian
profetik, anatara lain dibuat terkenal oleh filosof sosial dan ekonom besar AS,
Kenneth Boulding.
Memaknai
Gagasan Pendidikan Profetik
Ada dua variabel yang
melatarbelakangi dari gagasan pendidikan karakter profetik dalam tulisan ini.
Pertama, Pendidikan Karakter. Munculnya gagasan pendidikan karakter ini sebagai
respon dari gagalnya proses pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia yang
bermoral yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan agama. Lembaga pendidikan
hanya berhasil mencetak manusia yang hafal akan pelajaran, pintar menjawab
soal, tapi itu di lakukan dengan kecurangan, tidak jujur sehingga yang didapat
hanya nilai-nilai akademik tanpa nilai moral-etik. Akan tetapi gagasan ini
layaknya pisau bermata dua, di satu sisi misi mulia untuk membentuk karakter
manusia akan tetapi di sisi lain sistem pendidikan masih menggunakan rule of
law yang klasik. Evaluasi pendidikan terhadap peserta didik yang menekankan
aspek intelektual, tes dalam suatu pekerjaan yang memberikan porsi “gendut”
pada nilai akademik, pembelajaran teacher center dan “meng-anak tirikan”
kemampuan emosional serta spiritual adalah
fakta publik yang rasionalnya tidak sesuai dengan visi pendidikan
karakter itu sendiri. Pendidikan yang semestinya membebaskan manusia dari
berbgai permasalahan kehidupan malah terpenjara oleh sistem pendidikan itu
sendiri. Pendidikan karakter sejatinya sebagai wadah pembebasan yang
membebaskan manusia dari kebodohan,
penindasan dan kemiskinan karena
pendidikan adalah pembebasan (empowering) dari berbagai penindasan
kehidupan bangsa yang cerdas.
Kedua, Karakter
Profetik. Berbicara mengenai karakter dalam kerangka etis dan miliki personal
meng-objek-kan karakter substantif yang mengarah pada sosok manusia, tokoh
yang menjadi tauladan untuk di jadikan
model karakter yang hendak di capai. Karakter profetik ini penting sebagai ruh
yang membentengi pendidikan dengan berbagai ekses-ekses negatif yang datang
dari derasnya arus globalisasi di era modernitas ini. Melihat fenomena dunia
sekarang, Max Weber (1958) dalam sebuah tesisnya mengatakan bahwa kita hidup di
alam yang ditandai oleh rasionalisasi dan intelektualiasi, dan terutama
ditandai oleh kekecewaan dunia. Dunia tidak lagi menjadi fenomena keramat,
kehidupan bukan lagi merupakan misteri yang tidak dapat di duga. Nasib manusia
tidak lagi ditangan manusia super. Agama yang di suatu waktu bersekongkol
dengan kemajuan manusia tidak diperlukan lagi. Protestantisme mempermudah
perkembangan kapitalisme, tapi kini protestantisme jaya berdasarkan pada
landasan bersifat mekanik dan tidak lagi memerlukan dukungan agama. Betapa
weber melihat kenyataan hidup sudah makin jauh dari nilai kemanusiaan, landasan
moral transendental bukan satu-satunya kepulangan yang menjanjikan kedamaian.
Ini karena semakin jauh jarak manusia dengan nilai-nilai sakral-religius.
Pertanyaanya adalah, siapa yang akan
mengembangkan iklim yang sudah
mengalami distorsi pada sebuah iklim
yang mempunyai landasan nilai etik dan moral-transendental, sehingga
kehidupan kembali menampakan wajah aslinya, yaitu wajah kemanusiaan. Karena
westernisasai telah merambah ke sendi pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi.
Kekhawatiran ini disampaikan oleh Cary Nelson bahwa bahaya-bahaya atas
universitas abad 21 yaitu 1) adanya korporatisasi/neoliberalisme pendidikan, 2)
intrumentalisme: pendidikan termasuk pendidikan tinggi tidak memiliki
idealisme, tapi hanya menjadi instrumen untuk mencari keuntungan, dan 3). ancaman neoliberalisme terhadap disiplin
akademik.
Kekhawatiran Cary
Nelson ini sudah terjadi di bangsa kita dengan bukti empiris di lapangan yang
menjadi produk pendidikan siap kerja tapi lemah softskill. Pandangan perguruan
tinggi terhadap lulusan yang “high competence” adalah lulusan dengan IPK tinggi
dan lulus dalam waktu yang cepat (<4 tahun). Sedangkan dunia industri
menyatakan bahwa yang di maksud dengan lulusan yang “high competence” yaitu
mereka yang memiliki kemampuan dalam aspek teknis dan sikap yang baik. (Illah
Sailah, 2008). Oleh karena itu, prilaku baik seseorang yang salah satunya
memiliki kecerdasan emosional, memiliki peran dominan dalam menentukan
kesuksesan hidup seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman
tentang keberhasilan seseorang bahwa, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh
kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Sarjana yang lahir di era reformasi sekarang ini umumnya lebih pragmatis dan mengalami
“kekosongan intelektualitas”. Mereka menjadi apatis terhadap kondisi masyarakat
dan mengalami kegagapan ketika berbicara topik yang lebih luas. Tanpa adanya
keterampilan sosial, bekal hard skill dan soft skill, mereka hanya menjadi
insan yang robotik.
Pendidikan Profetik
merupakan rekayasa sosial sebagai solusi alternatif dari kegelisahan pendidikan
yang berjalan tanpa ruh dengan arahan yang jelas. Prof. DR.Zamroni dalam
seminar internasional “the role of social studies in the context of nation and
character building” menyampaikan bahwa: karakter tidak otomatis berkembang pada
diri warga bangsa atau peserta didik. Perlu ada rekayasa sosial yang dirancang
dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang jelas. Rekayasa sosial ini
semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi yang merupakan
partisipasi dari berbagai pihak sekolah/lembaga pendidikan secara mandiri tidak
akan mampu mengembangkan karakter dikalangan peserta didik. Rekayasa sosial
untuk pembangunan karakter perlu di rencanakan dan dilaksanakan sebaik dan
secermat mungkin. Dalam hal ini, pendidikan karakter profetik bisa melakukan
rekayasa sosial seperti melakukan kolaborasi nilai spiritual-transendental
dengan keunikan budaya bangsa yang
melibatkan lembaga pendidikan, lingkungan keluarga dan masyarakat dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan.
Pendidikan
Karakter dalam Konteks History Indonesia Masa Kini
Di tahun 2010, Menteri
Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter.
sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa maka pendidikan karakter
mendesak untuk diterapkan. M. Nuh menyayangkan dengan output dari pendidikan
selama ini yang jauh dari harapan. Penegak hukum yang mestinya harus menegakkan
hukum ternyata harus dihukum. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus
dididik. Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani
dan itu adalah sebagian dari fenomena yang bersumber pada karakter.
Manusia-manusia bangsa ini sangat memperihatinkan akan jeleknya karakter yang
dimiliki. Media sebagai alat mobilasasi massa menyuguhkan refrensi orang yang
tidak jelas identitasnya dengan berbagai acara infotainment, iklan dan berbagai
program televisi yang tidak sesuai dengan identitas bangsa ini. Akibatnya
adalah anak didik malas belajar karena suka menonton kartun, banyak orantua
cerai karena mereka selalu melihat perceraian para artis yang hal itu mereka
anggap biasa dan akhirnya mereka mengikuti juga. Buruknya kualitas program tv
Indonesia, media liberal yang berkiblat pada rating, tidak adanya formulasi
edukasi dari pemerintah , anak-anak menghabiskan waktu rata-rata 4 jam/ hari di
depan tv (Kidia,2009). Sangat disayangkan media televisi yang seharusnya
mengkonstruksi paradigma dan menciptakan peradaban melalui tayangan edukasi
tapi tercemar dengan hura-hura dan hiburan.
Kalau kita mengingat kembali mengenai program pendidikan karakter
sebenarnya sudah di mulai sejak lama. “Proyek” tentang program pendidikan
karakter merupakan proyek yang sudah lama berjalan akan tetapi belum menemukan
“format mujarab” dalam hal implementasi dan evaluasinya. Naik surutnya program
pendidikan karakter ini sudah dikenal sejak zaman orde baru. Pada masa orde
baru, untuk membantu pembentukan karakter bangsa Pendidikan Budi Pekerti masuk
menjadi salah satu mata pelajaran dalam kurikulum SD 1947, pendidkan budi
pekerti lantas di gabung dengan Pendidikan Agama dalam kurikulum 1964 dengan
nama Agama/Budi Pekerti, juga ada nama pelajaran khusus tentang kewarganegaraan
yang disebut civic.
Berbagai macam cara
memandang pendidikan budi pekerti, entah itu dianggap sebagai mata pelajaran
khusus, atau terintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain seperti Pendidikan
Agama, Sejarah, PPKn, PMP, Pendidikan Kewarganegaraan dll, menunjukan bahwa
bangsa ini sebenarnya memiliki keprihatinan mendalam tentang pembentukan
katrakter bangsa. Namun, ketidakjelasan konseptual tentang makna pendidikan
budi pekerti, seperti tercermin dalam campur aduknya pendidikan budi pekerti
dalam mata pelajaran pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan
kesejahteraan keluarga, pendidikan agama dan lain-lain mengindikasikan bahwa
pemikiran tentang pendidikan karakter itu tetap bergulir dalam sejarah
pendidikan bangsa ini. Situasi ini sesunggguhnya menantang kita untuk kembali
dapat meletakan dan memahami pendidikan karakter bagi pembentukan kepribadian
bangsa. (Doni Koesoema, 2007; 50-51).
Kita sering di hadapkan dengan istilah yang hampir sama dalam maknanya tapi
beda settingnya. Misalnya diskursus mengenai pendidikan karakter, pendidikan nilai,
pendidikan moral, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Kita sering di hadapkan dalam pada perdebatan
akademis mengenai empat macam pendidikan ini, Apakah semuanya memilki kesamaan?
Kalau iya, maka di mana letak persamaannya? Kalaupun beda, dimana perbedaannya?
Doni Koesoema
memberikan gambaran antara pendidikan karakter dengan pendidikan moral,
pendidikan nilai, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun
perbedaan ini bukan perbedaan yang tidak ada hubungannya satu sama lain, melainkan
keterkaitan yang utuh dan saling melengkapi. Penjelasan di bawah ini secara
singkat memberikan kita pemahaman dari maksud yang dikemukakan diatas.
1. Pendidikan
karakter dan pendidikan moral. Perbedaan antara pendidikan karakter dan
pendidikan moral adalah ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu
dalam mengambil keputusan. Pendidikan moral ruang lingkupnya adalah kondisi
batin seseorang sedangkan pendidikan karakter ruang lingkupnya adalah
pengambilan keputusan terdapat dalam diri individu, namun keputusan dalam
lembaga pendidikan melibatkan struktur dan relasi kekuasaan.
2. Pendidikan karakter dan pendidikan nilai. Pada
pendidikan nilai yang perlu diklarifikasi adalah system nilai individu sedangkan dalam pendidikan karakter yang perlu
diklarifikasi adalah system nilai individu dan kelompok yang biasanya tercermin
dalam relasi kekuasaan yang sifatnya politis. Pendidikan karakter dan
pendidikan agama. Agama merupakan sebuah pondasi yang lebih kokoh, kemartabatan
yang paling luhur, kekayaan yang paling tinggi, dan sumber kedamaian manusia
yang paling dalam. Pendidikan karakter menjadi bangunan dari fondasi iman,
realisasi nilai spiritual dari teks menuju konteks
3. Pendidikan
karakter dan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan menjadi
sumber formal-struktrual pendidikan karakter dan pendidikan karakter memuat
nilai-nilai demokratis.
Dibalik gagasan
pendidikan karakter sepertinya belum menyentuh hakikat sesungguhnya. Kesalahan
memahami dari tujuan Negara “…mencerdaskan kehidupan bangsa” dapat berakibat
pada makin jauhnya tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri karena yang
sekarang terjadi adalah pemahaman tentang kata “cerdas” yang menekankan pada
aspek intelektual belaka. Suparlan (2004; 3-6) dalam bukunya “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa dari Konsepsi sampai Implementasi,” mencoba membongkar logika
berfikir sperti ini. Kata cerdas tidak hanya terbatas pada Makna yang telah
dipahami oleh kebannyakan dewasa ini, misalnya seperti sinonim kata “cerdik,
pandai, pintar” (Kamus, Dewan, 1997:232). Makna yang luas karena kata cerdas tidak hanya terbatas
pada aspek mental, tetapi juga mengandung makna dalam aspek fisikal, misalnya
dengan makna “sempurna pertumbuhan badannya seperti sehat, tangkas” (Kamus,
Dewan, 1007:232). Adapun ada pihak yang berpendapat bahwa rumusan tujuan Negara
dalam bidang itu seharusnya berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”,dengan
alasan bahwa yang cerdas itu akan tampak dalam pola berfikir, bersikap dan
bertindak warga negaranya.
Kesalahan makna atau
konsepsi tentang rumusan itu akan menyebabkan terjadinya kesimpangsiuran dalam
orientasi, yang lebih jauh kemudian akan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh, jika pemahaman tentang
“kecerdasan” itu semata-mata karena hanya terbatas pada kecerdasan intelektual,
maka implementasi pada proses pendidikan akan menekankan pada proses dan hasil
belajar yang bersifat akademis semata-mata. Akibatnya sisi lain dari kecerdasan
itu tidak pernah mendapat perhatian. Kesalahan pemaknaan terhadap kecerdasan
yang hanya menekankan kecerdasan intelektual itu lebih jauh akan tereflaksi
secara nyata pada pemilihan strategi, pendekatan, metode pembelajaran,
kurikulum yang berisi bahan ajar, sistem penilaian pendidikan, sampai dengan
bentuk laporan hasil belajar berupa buku rapor yang diberikan kepada orangtua.
Kesalahan konsep lebih jauh lagi akan mengakibatkan terjadinya kesalahan fatal
dalam sistem implementasinya. Teringat pada soal raport sebagai contoh, sistem
rangking atau peringkat itu terlalu
memihak pada aspek akademis. Angka-angka pada rapor hanya menunjukan prestasi
siswa dalam bidang akademis, dan sama sekali tidak menunjukan keberhasilan
siswa pada bidang lainnya atau tipe kecerdasan lainnya. Sistem peringkat dalam
raport tersebut sangat menafikan adanya kemajemukan dalam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu manusia
yang memang memiliki keunikan. Hal demikian di ungkap oleh Sartono mukadis
dengan wacana system “bintang” untuk menggantikan sistem rangking (Kompas, 19
Juni 2003).
Pendidikan
Profetik : Peluang dan Tantangan dalam Implementasi
Pendidikan profetik
merupakan pendidikan yang di format untuk peradaban manusia karena pendidikan
profetik memasukan konteks pengalaman manusia dengan wahyu. Pendidikan profetik berakar pada nilai-nilai
wahyu sehingga tidak bersandar pada konteks teori tentang pendidikan yang
selama ini ada seperti behaviourisme dan positivisme. Dalam dimensi keyakinan,
manusia bertujuan untuk bertemu dengan Tuhannya (ingat peristiwa Isra Mi’raj
Nabi Muhammad SAW) . Hal ini merupakan spirit profetik karena Nabi sesudah
bertemu Tuhan kemudian tidak tetap untuk selalu bersama Tuhannya akan tetapi
memilih kembali ke Bumi untuk bergabung dengan umatnya.
Pendidikan profetik
berbicara mengenai Idealita (Khalifah), realita (kejahiliahan) dan Metode
(pendidikan). Manusia disamping sebagai
khalifah (pemimpin) juga sebagai
abdullah (hamba Tuhan). Nabi seperti guru yang membuka pintu peradaban
yang membebaskan . Hadirnya seorang Nabi
ini diawali dengan Iqra (spirit learning). Spirit learning ini menempatkan Nabi
sebagai seorang Guru yang memberikan pencerahan pada umatnya. Peradaban yang inspiratif hanya bisa
dilakukan oleh guru yang mempunyai karakter profetik. Pendidikan harus memimpin
peradaban karena kalau ekonomi yang memimpin maka akan melahirkan kompetisi
seperti perebutan kekayaan alam. Paradigma profetik mencoba melakukan format
pendidikan yang bisa menggeser paradigma kompetisi menjadi spirit bersinergi
contohnya saling melengkapi akan kebutuhan hidup masing-masing. Pendidikan
karakter adalah bagian dari pendidikan profetik. Misalnya kenapa orang Nasrani
semangat mendirikan rumah sakit karena punya mempunyai spirit profetik dari
Nabi mereka (Nabi Isa yang mukjizatnya dapat menyembuhkan). Cukup sudah ekonomi
memimpin globalisasi , saatnya pendidikan yang bangkit bukan hanya sektor
ekonomi.
Berbicara mengenai
profetik adalah berbicara mengenai manusia, tokoh, idola, dan panutan. Tapi
tidak sekedar itu, berbicara model yang menjadi panutan untuk diikuti bukan
karena kelebihan yang dimiliki model itu dan kemudian melahirkan “kebanggaan
pasif” bagi yang mengetahuinya. Makna profetik lebih pada peniruan total (total
imitation) akan setiap perbuatan dan tingkah laku yang dilakukannya. Inilah
perbedaan konsep pendidikan yang ber-karakter profetik dengan konsep pendidikan
yang lainnya. Pendidikan karakter profetik mempunyai misi mulia untuk
mengembalikan fitrah manusia yang berkeadaban dan berkebudayaan tanpa
meninggalkan kepribadian sebagai keunikannya yang dimilki. Namun begitu,
gagasan pendidikan profetik memiliki tantangan dan peluangnya sendiri. Tantangannya
adalah korelasi antara pendidikan profetik yang memiliki kekhasan prophet
dengan nilai kebangsaan suatu Negara serta dengan ragam mulkulturalisme.
Pertama, pendidikan keagaman dan kebangsaan. a). Pendidikan karakter profetik
harus disandingkan dengan karakter kebangsaan yang menjadi ciri kepribadian
bangsa Indonesia karena apabila karakter profetik disajikan tanpa bumbu
keindonesiaan maka konsep profetik tidak akan berlaku karena Indonesia bukan
negara agama.
Oleh karena itu, konsep profetik terhalang sistem pendidikan
Indonesia yang selama ini menekankan pada karakter kebangsaan. b). Konsep profetik harus sesuai dengan ruang
dan waktu. Peranan yang di lakukan Nabi yang berada di Arab mulai dari
Makkah-Madinah tentu mempunyai perbedaan dengan Indonesia. Mulai dari obyek
permasalahan yang ada, karakteristik masyarakat dan metode yang di lakukan.
Misalnya, di makkah Nabi membebaskan manusia dari kejahiliahan agama tapi
sekarang kita di Indonesia menghadapi manusia yang beragama. Bahkan, konsep yang
menjadi realita tentang liberasi di zaman Nabi dengan sekarang beda. Zaman
Nabi, wujud liberasi misalnya kebebasan menyatakan pendapat oleh siapapun tanpa
memandang status sosial kalau di Indonesia kebebasan disini adalah kebebasan
dalam demokrasi. Tapi karena bebasnya demokrasi di Indonesia malah terjerumus
menjadi demokrasi yang individualistis. c). Konsep karakter profetik harus
dihadapkan pada zaman kekinian masyarakat Indonesia yang menjadi karakteristik
bangsa. Pendidikan profetik merupakan peluang keagamaan tapi mempunyai
tantangan yang dihadapkan pada realita kebangsaan. d). Mendudukan antara konsep
keagamaan dan kebangsaan tidak dimaksudkan dalam kedudukan yang horizontal,
atas-bawah, ilahiah-kauniyah, akan tetapi konsep keagamaan-kebangsaan harus
dilihat dalam pandangan kolaboratif kekhususan lokal suatu bangsa dengan ajaran
wahyu agar terjadi sinkronisasi antara nalar wahyu dengan nalar akal. e).
Konsep profetik dalam pembelajaran misalnya, dosen tidak menjadi pusat
pembelajaran karena hanya akan menimbulkan ketergantungan sumber pembelajaran
kepada mahasiswa. Mahasiswa yang harus menjadi pusat belajar (student center)
agar bisa mandiri dan tidak ada ketergantungan (liberasi), sedangkan dosen
hanya sebagai pendamping. Konsep inilah yang merupakan konsep yang kolaborasi
dan konsultatif antara dosen dan mahasiswa.
Kedua,
multikulturalisme. Konsep multikultur
tidak dipermasalahkan dalam
kacamata pendidian profetik karena kita tidak meniadakan akan suatu perbedaan.
Namun, yang dipermasalahkan adalah paham yang mengakui kebebasan dalam
perbedaan tanpa ada batas. Konsep pendidikan profetik mengiyakan perbedaan akan
tetapi harus ada keyakinan atau nilai universal yang disepakati bersama. Dalam
keragaman ini (multikultur) dalam lingkup transendensi tercermin dalam
Pancasila sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa). Sila ini mengajarkan
kesepakatan bersama adanya lima Negara di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik Protestan,
Hindu dan Budha. Sila ini juga sebagai legitimasi warga Negara Indonesia untuk
berislam, berkatolik dan sebagainya.
Hal ini sudah
disepakati bersama sehingga tidak ada
kemunculan pemahaman atau aliran lain yang dapat melahirkan agama baru.
Berbicara Profetik adalah berbicara orangnya (person) sedangkan ketika nilai
ini menjadi kolektivitas sosial maka akan menjadi masyarakat madani (ummat).
Gagasan mengenai pendidikan profetik merupakan gagasan filosofis dan ideologis
yang lahir untuk merespon berbagai permasalahan pendidikan Indonesia saat ini.
Muh. Khoirur Roziqin
dalam skripsinya berjudul “Format Pendidian Profetik ditengah Transformasi
Sosial Budaya” (telaah Kritis Pemikiran Kuntowijoyo), dibab I ia mencoba
memaknai dari konsep pendidikan profetik yang dibuat oleh beberapa penulis
diantaranya adalah Khoiron Rosyid dan Moh. Sofan. Muh. Khoirur Roziqin
menjelaskan bahwa, Khoiron Rosyid dalam bukunya Pendidikan Profetik tidak
memaparkan adanya sebuah konsep pendidikan profetik seperti apa yang relevan
pada era transformatif seperti sekarang ini. Proses pendidikan profetik
ditengah transformasi sosial budaya belum dilaksanakan sepenuhnya karena tidak
adanya suatu konsep yang jelas dan matang. Aktualisasi sebagai proses yang
menjadikan konsep-konsep ideal terealisasi menjadi tindakan nyata pijakannya.
Hal tersebut dapat dipahami dengan menempatkan dimensi aktualiasi pada mata
rantai suatu siklus dinamika: konsep dasar, konsep operasional dan aktualisasi,
terhadap objeknya yang dalam hal ini manusia sebagai subjek didik. dijadikan rujukan
sebagai proses awal supaya pendidikan dapat berjalan sinergi. Dan dalam hal ini
yang menjadi subjek adalah manusia. Selanjutnya perlu adanya suatu planning
konsep operasional benar-benar matang, maka siap diaktualisasikan dalam lembaga
pendidikan.
Penutup
Menghadirkan misi
profetik dalam pendidikan merupakan ikhtiar untuk meneguhkan kembali
nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan fitrahnya. Menghadirkan misi
profetik dalam pendidikan tidak hanya upaya untuk menjelaskan akan pentingnya
pembentukan karakter manusia dalam pendidikan akan tetapi juga diarahkan pada
transformasi yang harus dilakuakn. Pendidikan bervisi profetik dianggap sebagai
pendidikan alternatif untuk menciptakan pendidikan yang memiliki etika (ethical
literacy) yakni etika profetik, atau setidak-tidaknya pendidikan tidak sekedar
pengetahuan tekstual belaka, sehingga lulusan pendidikan kohesif hidup didalam
masyarakat, dan tidak hanya mondar-mandir menawarkan ijazah, akan tetapi mereka langsung memanfaatkan kemampuan untuk
eksistensi hidup dan menghadapi kehidupan.
Tiga pilar yang menjadi
nilai pendidikan profetik seperti humanisai, liberasi dan transendensi harus
menjadi konsep dasar yang ditrasformasikan menjadi konsep operasional.
Muh.Khoirur Roziqin yang mengutip dari bukunya Paulo Freire Pendidikan Kaum
Tertindas menegaskan humanisnya konsep
humanisasi itu sendiri. Humanisasi menegaskan manusia sebagai makhluk
yang berkesadaran. Ia ada didalam dan bersama dengan dunianya. Implikasinya, ia
harus “hidup sendiri” bersama dengan manusia lain dan realitas yang
melingkupinya. Humanisasi ini yang akan membawa rakyat pada perubahan realitas
secara manusiawi. Dalam konteks ini perubahan bukan berarti berbaliknya
realitas kaum tertindas, melainkan teratasinya kontradiksi antara kaum penindas
dan kaum tertindas, sehingga berubah menjadi saling memanusiakan. Pendidikan
profetik bertujuan membentuk paradigma baru dari dari tradisi yang telah
berkembang selama ini yang banyak kecenderungannya pada masalah-masalah
normatif. Liberasi adalah pendekatan revolusioner, yang dalam konteks Indonesia
masa kini biaya sosialnya terlalu mahal, sehingga umat Islam hanya perlu
mengambil intinya, yaitu: usaha yang sungguh-sungguh.
Anak-anak sejak dini
hendaknya sudah diajarkan mandiri dalam
menangani berbagai persoalannya agar ketika sudah dewasa dia sudah terbiasa
untuk mandiri tanpa bergantung pada orang lain[32]. Transendensi dalam konteks
ini adalah kepercayaan persatuan bukan yang menimbulkan perbedaan dan
melahirkan kepercayaan baru. Kepercayaan kita adalah kepercayaan keimanan yang
mengakui adannya Allah yang satu. Kepercayaan ini dapat menjadi prinsip yang
mampu membongkar logika kepercayaan athesime yang sebenarnya merupakan
kepercayaan irrasional dalam kacamata fitrah seorang manusia. Bisa kita ihat
pada realita empiris bahwa kepercayaaan pada takhayul, mitos dan berbagai
kepercayaan yang menomorduakan Tuhan telah menimbulkan disintegrasi komunal,
agama bahkan bangsa. Pendidikan Humanistik mengorientasikan proses
pendidikannya sebagai berikut:
Bertujuan
memanusiakan manusia dan memanusiakan masyarakat.
Materinya memuat ilmu-illmu kemanusiaa dan
filasafat manusia, ilmu agama yang menerangkan transendensi hubungan manusia
dengan Tuhan, ilmu etika yang mengajaran nilai-nilai luhur kemanusiaa dan ilmu
estetika yang mengajarkan nilai-nilai keindahan. Metodenya dengan cara
menghargai harkat, martabat, dan derajat manusia sesuai dengan fitrahnya.
Permasalahan karakter
bangsa adalah permasalahan yang sudah menjadi perhatian oleh para pendahulu
pendiri bangsa ini, terutama pemerhati pendidikan. Potensi yang di miliki
manusia terdiri dari potensi otak (berfikir), hati (menentukan baik buruk) dan
fisik (sarana untuk bertindak). Semua
potensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam proses pembentukan
karakter manusia karena telah berada pada orbit keseimbangan sebagaimana
keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan manusia. I Gede Raka mengatakan bahawa
para ‘founding fathers’ dari republik ini memperjuangkan kemerdekaan dengan
memusatkan perhatian pada pembangunan karakter. Pesan yang sangat jelas
mengenai pentingnya pembangunan karakter sudah disampaikan oleh W.R. Supratman
dalam lagu Indonesia Raya, ’…Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya Untuk
Indonesia Raya’.
W.R. Supratman
menempatkan pembangunan ‘jiwa’, sebelum pembangunan ‘badan’, bukan sebaliknya.
pembangunan karakter adalah pembangunan ‘jiwa’ bangsa. Menyadari bahwa karakter
individu tidak bisa dibentuk hanya melalui satu atau dua kegiatan saja, maka
harus disusun kurikulum pembinaan karakter yang berkesinambungan dan terintegrasi dalam pembelajaran di kelas
maupun di lingkungan pendidikan, dimana proses tersebut juga melibatkan guru
atau dosen, karyawan, dan
lembaga-lembaga pendidikan yang lain terutama pemerintah, sehingga
manfaat pembinaan karakter dapat dirasakan (Brooks, 2005).
Pendidikan Karakter
Profetik menempatkan dimensi keimanan (transendental) sebagai ruh dalam setiap
penyelenggaraan pendidikan karena segala segala sesuatunya tindakan manusia
harus berawal dan berakhir sebagai wujud kehambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu tidak heran apabila dalam Pembukaan UUD 1945, para foundhing fathers
membuat kalimat transendensi, “dengan Rahmat Allah Yang Maha Esa” sebagai nilai
dasar konstitusi keimanan. Bahkan di dalam tujuan pendidikan di cantumkan
secara tersirat “menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa,………..”. Bila dasar hukum sudah sepakat dengan dimensi keimanan
ini maka dengan bangga hati kita sebagai bangsa Indonesia telah melaksanakan
Pancasila sebagai fundamentalnorm dalam Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dibidang pendidikan.
Pentingnya peranan
seorang prophet (nabi), Michael H. Hart dalam bukunya berjudul “Seratus Tokoh
Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah” menempatkan seorang Nabi menjadi urutan
pertama sebagai tokoh yang berpengaruh sepanjang sejarah di dunia. Salah satu faktor berpengaruhnya para Nabi adalah karena
memiliki potensi intrinsik yaitu memiliki karakter atau kepribadian yang ideal,
plus kesadaran yang tinggi akan peran dan tugasnya untuk melakukan perubahan
pada umat untuk mencapai kondisi masyarakat yang sehat.Dengan demikian, sangat
diperlukan sekali mengenai adanya reorientasi-substansi output dari proses
pendidikan sehingga dengan seperti ini ada reformasi dalam sistem proses
pembelajaran yang mempunyai tindakan transformatif yang meliputi humanisasi,
liberasi dan transendensi. Dengan karakter profetik, peserta didik
diorientasikan kepada tugas dan perannya di bumi (keluarga, sekolah dan
masyarakat) dengan fase-fase yang di alaminya.
Diantara fase itu
adalah afeksi yang melahirkan kesadaran untuk memperlakukan manusia sesamanya
sesuai dengan fitrah manusia (humanis), berperan aktif untuk menanam
bibit-bibit kebaikan di manapun ia berada (liberasi) yang semuanya di lakukan
tanpa pamrih dan sombong yang pada akhirnya semua itu harus mengakar pada nilai
keimanan kepada Tuhan (transendensi). Inilah misi profetik yang harus kita
hadirkan kembali di arena publik demi terwujudnya insan yang ideal
berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Daftar
Pustaka:
Forum Kajian
Antropologi Indonesia, 2008, Refleksi Karakter Bangsa, FKAI: Jakarta.
Hart, H.Michael, 1982,
“Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”. Jakarta: PT Dunia Pustaka.
Illah sailah,2008,
Pengembangan Softskill di Perguruan Tinggi. Direktoriat Jendral Pendidikan Tinggi:
Jakarta.
Koesoema, Doni. A,
2007, Pendidikan Karakter,Grasindo:Jakarta.
Kuntowijoyo,1991.
Paradigma Islam: Intrepertasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan
------------------,2001”Muslim
Tanpa Masjid”. Bandung: Mizan.
------------------,
2006. Islam sebagai Imu; Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Muchtar Lubis, 2001,
Manusia Indonesia, Yayasan Obor:Yogyakarta.
Nelson, Cary. 2010. No
University Is An Island. New York University Press: New York.
Paulo Freire dkk, 1999,
Menggugat Pendidikan (Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis), Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
Paul Suparno, dkk,
2002, Reformasi Pendidikan; Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius.
Racmat R. Al-Banjari,
”Prophetic Leadership”( Yogyakarta:Diva Press, 2008).
Rosyadi, Khoiron, 2004,
Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soepardo,dkk. 1963,
Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (civics). Djakarta, Dinas Penerbitan
Balai Pustaka.
Suparlan, 2004,
Mencerdasakan Kehidupan Bangsa Dari Konsepsi Sampai Implementasi, HIKAYAT
Publishing: Yogyakarta.
Yunus, Firdaus,M, 2004,
Pendidikan Berbasis Realita Sosial, Logung Pustaka: Yogyakarta.
Lain-lain
Skripsi: Muh.Khoirur
Roziqin “format Pendidian Profetik di tengah Transformasi Sosial Budaya”
(telaah
Kritis Pemikiran
Kuntowijoyo). UIN Sunan Kalikaga Yogyakarta, 2008.
Education Center, 2009,
Pendidikan Karakter Kebangsaan, BEM REMA UNY, Yogyakarta.
Education Center, 2010,
Internalisasi Nilai-nilai Profetik dalam Pendidikan Karakter, BEM REMA UNY, Yogyakarta.
H. A.
R Tilaar, “Disparitas Filsafat Pendidikan
Nasional Reformasi Pendidikan Nasional
Dan Kebijakan Pendidikan Nasional” , Jakarta, 24 September 2010.
Syarifuddin
Jurdi dalam Seminar Nasional,”Pendidikan
Profetik:Tantangan dan Peluang di Era Modernitas” di UNY, Yogyakarta 19
Juni 2010.
Buletin
SMART News,”Komitmen FISE:Perang Melawan
Plagiarisme”, FISE UNY. Yogyakarta, Edisi Perdana Volume 1 September 2010.
UU SISDIKNAS Pasal 3 No 20 tahun 2004.
Kompas, 19 Juni 2003
Harian Jogja, 8 Agustus 2010, Yogyakarta.
Koran Tempo, 4 November 2010