Ayah, aku ingin bicara
Ayah, aku ingin bicara..
Tiap hari kulihat kelelahan di kerut wajahmu
Semua hanya demi aku, anakmu
Ayah, aku ingin bicara..
Meski aku hanya diam, kau tahu apa yang kuingin
Semua kau penuhi dengan balutan kasihmu untukku
Ayah, aku ingin bicara..
Kurasakan begitu berat hatimu jauh meninggalkanku
Tiap jam kau menelponku
Meski kau tahu, tak kan bisa mendengar suaraku
Hanya ketukan jariku sebagai isyarat
Dan kau selalu mengakhiri dari ujung telepon dengan
kata yang sama, “Alhamdulillah”
Ayah, aku ingin bicara..
Sepanjang hidup kau berharap dapat mendengar suaraku
Segala upaya kau lakukan
Kini aku hanya bisa mengusap nisanmu
Masih diam tanpa suara
Ayah, aku ingin bicara..
Sungguh aku ingin bicara
Andai aku bisa, aku hanya ingin bicara satu kalimat
Ya, satu kalimat saja
“Aku mancintaimu, ayah..”
Hanya itu yang ingin aku bicarakan padamu
Tapi hingga kini hanyahatiku yang mampu bicara
Belum dengan lisanku
Ayah, aku ingin bicara..
Dan semoga kau mendengarnya..
Kini aku hanya
bisa memandangi puisi itu di dinding kamarku. Aku rindu ayah. Aku rindu
senyumnya, candanya, kerut keningnya, semua kurindu. Aku rindu saat ia
menelpon. Lucu rasanya. Telepon adalah alat komunikasi yang menggunakan suara.
Sedangkan aku, apa yang bisa kuucapkan? Sejak kecil aku tak bisa bicara. Aku
bisu. Jadi, lucu rasanya jika ada orang bisu menggunakan telepon. Kira-kira apa
yang bisa diucapkannya?
Aneh, ayahku
aneh. Tapi itu menurut orang lain. Tapi sebagai orang ‘aneh’, aku tak pernah
menganngap ayahku aneh. Ayah adalah ayah terhebat sedunia. Ia mengajariku kode
morse yang cukup menggunakan ketukan. Aku tak perlu bicara. Jika ayah bertanya,
aku cukup menjawab dengan ketukan. Aku dan ayah punya kode sendiri dalam
ketukan. Satu ketukan artinya aku sedang tidak bisa menerima telepon. Dua
ketukan artinya aku baik-baik saja, dan ayah bisa langsung menutup telepon.
Jika tiga ketukan, itu tandanya ada yang ingin aku bicarakan. Barulah kemudian
aku menggunakan kode morse seperti yang ayah ajarkan padaku.
Apakah ayahku
orang yang aneh? Tidak, tidak sama sekali. Ayahku ayah paling kreatif sedunia.
Ayah tak pernah
mengajariku bahasa isyarat. Yang diajarkannya padaku adalah berbagai jenis
huruf. Ayah menguasai huruf-huruf dari berbagai Negara. Huruf Arab, India,
Cina, Jepang, Korea, aksara jawa, dll. Semua huruf-huruf itu sudah diajarkan
sejak aku berusia 3 tahun. dulu aku tak mengerti tujuan ayah mengajarkan
huruf-huruf aneh itu pada orang bisu sepertiku. Untuk apa? Apa cuma ingin cari
sensasi? Meskipun anaknya bisu, tapi bisa menulis berbagai macam huruf.
Sesempit itukah tujuan ayah?
“Ayah yakin,
nanti kamu bisa datang ke semua Negara itu. Kalau kamu ngerti tulisannya, paham
bahasa mereka, kamu gak bakalan nyasar. Bisu itu cukup mulutmu, tapi kamu masih
punya bagian tubuh lain yang gak bisu. Gunakan itu untuk bisa bicara.” Oh,
ayah… betapa cerdas dirimu.
Setelah aku
menguasai huruf-huruf aneh itu, ayah selalu menyuruhku untuk menulis hingga
berlembar-lembar. Kata ayah, aku harus bisa menulis cepat. Bahasa isyarat hanya
bisa dipahami oleh orang-orang yang pernah mempelajarinya. Tapi semua orang
pasti mengerti dengan apa yang aku tulis. Setiap hari ayah selalu bertanya,
“Buku sakumu masih ada?” ayah sangat senang setiap aku menghabiskan buku saku.
Itu artinya aku banyak berkomunikasi dengan orang lain. Ayah juga mengajarkan
padaku, jika aku bertanya pada seseorang, aku harus menulis jawabannya. Untuk
itulah aku butuh keahlian menulis cepat. “Ikatlah ilmu dengan tulisan,”
begitulah ayah sering mengingatkanku. Ilmu yang dituliskan, suatu saat bisa
dibaca lagi. Kalau tidak ditulis, bisa jadi ilmu itu terlupakan.
Ayah, betapa
hebat dirimu, dan aku selalu mengagumimu. Kau ayah terhebat, ayah yang cerdas,
ayah yang kreatif, juga ayah yang pengertian. Aku tak pernah menuliskan bahwa
aku menginginkan sesuatu, tapi kau selalu tahu apa yang ku mau. Melihat
sepatuku yang sudah lusuh, tanpa kuminta, kau belikan aku yang baru. Dan kau
sangat tahu model sepatu yang ku suka. Saat hujan di malam hari, kau buatkan
semangkuk sup hangat untuk menemaniku belajar. Kau pun selalu mengerti saat aku
merasa jenuh, saat aku sedih, saat aku senang, saat aku ingin memelukmu, dan
saat aku merindukan ibu. Betapa hebatnya dirimu, meskipun aku tak pernah
melihat ibu sejak lahir, tapi ceritamu membuatku merasakan bahwa ibu selalu ada
dan sangat mencintaiku.
Aku selalu
tertawa geli melihat ayah masak nasi goreng. Ayah selalu mengikuti gaya ibu.
Menurut cerita ayah, ibu selalu masak nasi goreng dengan gayanya yang heboh.
Botol kecap yang dimainkan bak bartender, begitu lincah. Tubuhnya ikut
bergoyang mengikuti irama alunan ketukan sendok penggorengan. Dan aku selalu
menantikan tiga ketukan khas ibu. Karena tiga ketukan itu artinya nasi goreng
sudah selesai dimasak.
Ayah juga sering
bercerita tentang kebiasaan ibu yang lainnya. Semua itu ayah tiru agar aku bisa
menyaksikan bagaimana kebiasaan ibu dulu. Ibu yang menyetrika baju dari ujung
lengan, mencuci sambil bernyanyi, menyapu hingga halaman tetangga, tidur dengan
memegang telinga, dan yang paling lucu saat ibu menyambut setiap ayah pulang,
selalu ada adegan “cii…luk…baa…” dan sekarang ayah lakukan adegan itu padaku.
Pernah suatu
hari aku bercerita pada ayah. Itu pertama kalinya aku merasakan hal yang
berbeda dalam hati. Dagdigdug dagdigdug…casciscus…nyeeesss… ah, susah diungkapkan.
Awalnya aku tak ingin bercerita. Bukan karena aku sulit bicara, tapi aku takut
ayah tak suka. Lebih-lebih aku malu, walau hanya sekedar bertanya, “perasaan
apa ini, yah?” namun ayah begitu tahu tentangku. Ia mengerti ada yanga berbeda.
Ia tahu hatiku sedang berbunga-bunga. Meski tak terdengar, ayah bisa merasakan
jantung yang dagdigdug ini. Aku ingin cerita, tapi tapi tapi… aduh dududuuhh….
Aku jadi salah tingkah di depan ayah.
“Hayoo….koq
senyumnya agak aneh?” kata ayah menggodaku. Aku semakin malu. Dalam hatiku
ragu, “cerita gak ya… hmm… cerita aja deh… ah, jangan… duh, cerita aja kali ya…
tapi…”
“Udah, sini ayah
pengen tahu ceritamu.” Ayah seolah mengerti dialog dalam hatiku.
Kuceritakan
panjang lebar hingga tinggi, dari awal hingga akhir, sampai akhirnya aku
merasakan getaran yang tak biasa ini. Tanganku sampai pegal rasanya menulis
cerita untuk ayah. Tulisanku tak rapi, banyak coretan. Aku gugup, malu, panik,
senang, takut. Ah, semua rasa seolah bercampur jadi satu dalam hati. Namun
ayahku mengerti maksud ceritaku.
Ayah tidak
marah, malah tersenyum manis padaku. Senyum yang membuat hatiku menjadi stabil.
Senyum hangat yang membuatku tenang. Tak lagi gugup. Hilang sudah gemetar. Ayah
hanya berkata singkat, “Anak ayah sudah mulai dewasa. Gak masalah, itu perasaan
yang wajar kok. Nyantai aja. Tapi…” aku menunggu kata-kata ayah yang
menggantung. Kutarik-tarik lengan bajunya seperti anak-anak yang merengek minta
dibelikan eskrim.
Ayah tersenyum.
Ia sangat pandai menggodaku. Aku kembali merengek, ia malah melengos. Mungkin
ia tak sanggup menahan tawa melihat anaknya yang penasaran setengah mati. “Oke
oke… tapi, jangan kamu terusin perasaan itu. Karena itu hanya perasaan sesaat.
Hari ini mungkin kamu belum mengerti, tapi saat kamu sudah dewasa, kamu akan paham
apa yang ayah maksud.”
Ayah, aku ingin
bicara. Sayang kini kau tiada. Aku sekarang mengerti, yah. Aku paham dengan apa
yang ayah maksud dulu. Ayah benar, perasaan seperti itu harus dikelola dengan
baik. Hati ini harus ditata sebaik mungkin agar ia berlabuh di muara yang
tepat. Aku mengerti dari cinta ayah dan ibu.
***
Pernah aku
terbangun dimalam hari, kulihat ayah sedang khusuk dengan doanya. Aku berlalu
ke kamar mandi. Namun langkahku seketika berhenti mendengar doa ayah. Namaku
disebut-sebut dalam doanya. Air mataku spontan jatuh bercucuran mendengar
harapan dalam doamu. Sebuah harapan sederhana, namun sulit terwujud. Tak
kusangka dalam keceriaannya, ayah menyimpan harapan sederhana itu seumur hidup.
Ayah ingin mendengar suaraku.
Kupeluk ayah
erat. Ingin kubisikkan ditelinganya dengan lembut, “Aku mencintaimu, ayah.”
Tapi aku tak bisa. Aku hanya bisa bergumam dalam hati. Air mataku kian deras.
Ayah mendekapku erat. “Semoga kamu bisa membimbing ayah mengucapkan dua kalimat
syahadat, ya nak..”
Kini ayah telah
tiada, dan aku masih tak bisa bicara. Ayah, semoga kau dapat mendengar suara
hatiku. Semoga doa-doaku dapat kau dengar di alam sana. Aku akan selalu
mendoakan ayah dan ibu.
Ayah, aku ingin
bicara…